sponsor

Slider

Berita

JPPR on SHOOt

Pers Release

Event

Jadwal Pilkada Serentak 2015


JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana membentuk panitia adhoc guna menjaring petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, 19 April mendatang. Langkah ini bagian dari tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang akan digelar Desember mendatang.

“Secara simultan bulan April sampai Mei, kami akan melakukan pembentukan panitia Adhoc PPK dan PPS,” ujar Komisioner KPU, Ida Budhiati, di sela-sela uji publik sejumlah rancangan Peraturan KPU yang akan menjadi pedoman pelaksanaan pilkada, di Jakarta, Rabu (11/3).

Menurut Ida, pembentukan panitia adhoc PPK dan PPS dimungkinkan, setelah nantinya KPU menetapkan sejumlah Peraturan  KPU yang akan menjadi pedoman pelaksanaan pilkada. Setelah itu, tahapan dilanjutkan dengan menerima penyerahan syarat dukungan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada 20 Mei 2015.

Sementara penyerahan dukungan calon Bupati dan Wakil Bupati serta calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota direncanakan agar mulai dilaksanakan pada 7 Juni 2015.

“KPU merencanakan jadwal pengolahan daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) pada 9-24 Juni. Tahapan ini akan berlanjut dengan pemutakhiran data pemilih pada 24 Juni sampai 6 November 2015,” katanya.  

Menurut Ida, pendaftaran calon kepala daerah baru akan dimulai 22 Juli 2015. Berbagai rangkaian test dilakukan kepada calon seperti test kesehatan, administrasi dan lain sebagainya. Jika calon dinyatakan lolos, maka calon akan ditetapkan ikut serta dalam Pilkada, pada 24 Agustus 2015.

 "Jadi kami akan menetapkan pasangan calon kepala daerah pada 24 Agustus," ujarnya.

Dalam rancangan PKPU tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada, KPU juga merencanakan akan jadwal kampanye pilkada 2015, digelar mulai 28 Agustus hingga 6 Desember 2015.

Sementara  pemungutan suara direncanakan akan berlangsung pada 9 Desember 2015. Setelah itu, KPU secara berjenjang akan melakukan tahapan rekapitulasi dari tingkat kecamatan hingga provinsi mulai 10 Desember hingga 17 Desember 2015.
KPU memberikan tenggang waktu sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) pemilihan calon Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih, 16 Desember hingga 29 Februari 2015. Sedangkan PHP Gubernur dan Wakil Gubernur dimulai 17 Desember hingga 1 Maret 2015.
Untuk jadwal penetapan pasangan bupati/wali kota terpilih hasil pilkada 2015, KPU berencana menetapkannya pada 29 Februari 2016. Sementara untuk pasangan gubernur terpilih, 1 Maret 2016. (gir/jpnn)

E-Voting Belum Bisa Diterapkan dalam Pilkada Serentak

E-Voting Belum Bisa Diterapkan dalam Pilkada Serentak. Ilustasi. Photo: Istimewa
E-Voting Belum Bisa Diterapkan dalam Pilkada Serentak. Ilustasi. Photo: Istimewa
Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai e-voting belum bisa diterapkan dalam pilkada serentak pada 2015. Sebabnya, Indonesia belum siap menyelenggarakan e-voting.

“Pasca-putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 147/PUU-VII/2009 dan UU Pilkada, e-voting menjadi salah satu alternatif dalam pemilu. Namun, untuk konteks sekarang, Indonesia belum siap menerapkan e-voting dalam pilkada serentak,” ujar Titi di Jakarta pada Rabu (21/1).

Menurut Titi, pelaksanaan e-voting membutuhkan sejumlah persiapan, di antaranya kesiapan anggaran, penyelenggara pemilu, infrastruktur, teknologi, dan pemilih. Dalam pilkada serentak yang rencananya diselenggarakan pada 2015, Indonesia belum dapat menyiapkan semua unsur tersebut.

“Kita saja belum punya alat untuk e-voting, apalagi harganya mahal. Penyelenggara dan pemilih juga belum mendapat sosialisasi e-voting, dan teknologi kita belum siap,” papar Titi.

Sementara itu, Deputi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz juga mengakui hal senada. Dia menilai Indonesia belum bisa menerapkan e-voting dalam pilkada serentak tahun 2015. “Jika dipaksakan, maka akan menimbulkan masalah baru dalam pilkada,” katanya.

Masyukuridin mendorong penghitungan dilakukan dengan mekanisme e-counting. Menurutnya, e-counting lebih murah, efisien, efektif, dan dapat mengurangi kecurangan dalam pilkada.

“Alat untuk e-counting dapat disimpan di kantor desa atau tempat yang disepakati bersama, sehingga penghitungan tidak dilakukan di TPS. Tetapi, penghitungan dilakukan di kantor desa atau tempat lain sehingga dihitung secara bersama dengan mekanisme e-counting,” ujar Masykurudin.

Penulis: Yustinus Paat/ED
Media: Berita Satu

Uji Publik dalam UU Pilkada Baru Harus Diperjelas

Uji Publik dalam UU Pilkada Baru Harus Diperjelas. Ilustasi Pilkada. Photo: Antara
Jakarta - Salah satu poin yang masih dipermasalahkan dalam undang-undang (UU) Pilkada baru adalah klausul terkait uji publik.
Sejumlah pengamat demokrasi dan pemilu menilai uji publik merupakan sesuatu yang positif tetapi tidak jelas baik mekanisme dan output yang mau dihasilkan.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Masykuruddin Hafidz menilai uji publik ini sebenarnya ide yang positif karena memberikan kesempatan yang sama kepada setiap calon kepala daerah untuk melakukan sosialisasi dan kampanye.
"Uji publik ini sebenarnya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap calon untuk berkampanye dan sosialisasi sehingga calon yang kaya tidak lebih banyak ke masyarakat dibandingkan yang kurang modalnya," ujar Masykuruddin di Jakarta, Rabu (21/1).
Namun, dia beranggapan uji publik ini bermasalah karena tidak memberikan implikasi apa-apa terhadap pencalonan.
Panitia uji publik, katanya, tidak punya kewenangan untuk memberikan penilaian terhadap para calon. Uji publik ini bisa dimanipulasi oleh orang-orang tertentu dengan untuk membuat terkenal.
"Panitia uji publik sebenarnya bisa memberikan penilaian atau opini atau skor dengan ukuran-ukuran tertentu sehingga masyarakat dapat menilai para calon berdasarkan uji publik tersebut. Dengan begitu uji publik mendapat nilai yang lebih," jelasnya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Semampow menilai uji publik merupakan sesuatu yang baru dan positif dalam pilkada kita, namun sangat kabur dan perlu diperjelas.
Menurutnya, uji publik hanya formalitas saja karena tidak bisa menggagalkan calon kepala daerah.
"Saya menganjurkan uji publik menjadi kesempatan untuk melakukan penjaringan calon-calon yang terbaik. Setelah itu, parpol bisa merekrut calon-calon tersebut," kata Jeirry.
Dia menganjurkan agar uji publik menjadi media bagi KPU memperkenalkan para calon kepala daerah kepada publik dan memberikan akses kepada masyarakat terkait profil dan rekam jejak para calon.
"Nanti, yang ikut uji publik saja yang bisa menjadi calon kepala daerah," pungkasnya.
Penulis: Yustinus Paat/FEB
Media: Berita Satu

Enggan Tangani Sengketa Pilkada, JPPR Sebut Sikap MA Tak Pantas


JAKARTA, - Meski mengakui secara ideal perlu ada lembaga baru yang menangani sengketa pemilihan umum kepala daerah, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) menilai tidak seharusnya Mahkamah Agung (MA) menyatakan keenggannnya, saat kembali diberi wewenang menyelengesaikan sengketa pikada. Sebab MA sudah pernah belajar atas penyelenggaraan sengketa yang sebelumnya ditanganinya. 

Apalagi yang mengamanatkan adalah peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada). "Memang perlu lembaga baru untuk menagani sengketa Pilkada, tetapi MA tidak seharusnya cuci tangan untuk tidak menyelengesaikan sengketa pikada," kata Manajer Koordinator Program JPPR, Sunanto kepada awak media, Minggu (11/1).

Menurut Sunanto, sebagai upaya penegakan yang komprehensif dan penegakan hukum pemilu dapat menemukan bentuknya, MA tidak ada alasan menolak tugas itu. Alasannya, sampai saat ini payung hukum sengketa hasil pilkada sudah ada diserahkan ke MA pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perkara ini, lanjutnya, awalnya sudah ditangani MA sebelum menjadi kewenangan MK sejak 2009. Tetapi kemudian kewenangan ini dibatalkan oleh MK sendiri pada Senin, 19 Mei 2014 lalu. Saat itu, Majelis hakim MK memutuskan untuk menghapus kewenangannya sendiri mengadili sengketa pilkada. 

MK menghapus pasal 236C Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat 1 huruf e UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 236C mengatur mengenai penyerahan wewenang Mahkamah Agung menggelar sengketa pilkada ke MK. "Saat ini, hal itu solusi yang tepat ketimbang di sengketa di MK," tegasnya.

Menindaklanuti putusan tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kala itu mengeluarkan perppu yang menganulir keberadaan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Diantaranya menyebutkan sengketa pilkada diselesaikan di Pengadilan Tinggi (PT). Jika tidak puas, maka para pihak bisa mengajukan banding ke MA. Putusan MA ini bersifat final dan mengikat.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 157 Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang menyatakan dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.

Merespons ketentuan itu, salah satu hakim agung dari MA memunculkan wacana pengadilan khusus pemilu atau electoral court. Hakim Agung MA bidang Tata Usaha Negara Supandi mengatakan perselisihan pemilu dari administrasi hingga pidana harus melewati Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) lebih dulu. 

Lebih lanjut, ia berharap sengketa pemilu akan lebih baik jika selesai di tingkatan tersebut dan tidak berlanjut ke pengadilan. Salah satu alasannya, mereka yang bersengketa seringkali tidak puas dengan hasil putusan sehingga justru menghina pengadilan. Meski demikian Supandi mengakui, wacana pengadilan khusus pemilu memang masih bersifat ius konstituendum (hukum yang dicita-citakan).

"Kita menginginkan negara ini mempunyai suatu pengadilan khusus pemilu, semacam wasit sepakbola," katanya usai bertemu dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Reporter : Karim Siregar
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
Media: Gressnews.com

Dilema Perppu Pilkada atas Pilkada Serentak 2015

Presiden SBY saat Mengumumkan Penerbitan Perppu Pilkada dan Pemda (ANTARA)
Presiden SBY saat Mengumumkan Penerbitan Perppu Pilkada dan Pemda (ANTARA)
JAKARTA - Memasuki tahun 2015 ini, DPR belum juga memutuskan untuk menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Perppu Pilkada). Akibatnya, substansi perppu khususnya soal waktu pelaksanaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 menjadi tidak pasti.

Selain belum ada payung hukum pelaksanaan Pilkada 2015, secara teknis penyelenggaraan dinilai akan menjadi problem karena waktu yang sempit. "Pelaksanaan pilkada pasti tidak akan terlaksana kalau payung hukumnya belum ada kejelasan, secara teknis ketiadaan ini tentu menjadi problem dalam pelaksanaan pilkada," kata Manajer Program Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto kepada awak media, Sabtu (3/1).

Di sisi lain, wacana diundurnya pilkada serentak dari 2015 ke 2016 akan menyebabkan terjadinya kekosongan kepala daerah hasil pilihan rakyat. Selanjutnya kokosongan ini akan menjadi "rebutan" sejumlah pihak di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait penunjukan 304 penjabat (Pj) gubernur dan pelaksana tugas (plt) bupati/walikota. Rincianya, 204 daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya 2015, ditambah 100 daerah yang berakhir pada 2016.

Karena itu, JPPR mendorong DPR segera mungkin membahas Perppu Pilkada tersebut untuk selanjutnya diundangkan agar payung hukum pelaksanaan pilkada serentak 2015 atau 2016 menjadi jelas. Apabila kepastian itu tidak bisa direalisasikan DPR sebelum pertengahan tahun 2015 ini, menurut Sunanto, tentu perlu pengunduran pelaksanaan pilkada serentak menjadi 2016.

Namun pengunduran pilkada ini akan berdampak dan menyebabkan terjadinya kekosongan pemimpin pilihan rakyat. "Sebaliknya, akan ada 304 kepala daerah berstatus Pj atau Plt hasil penunjukkan Kemendagri," kata Sunanto.

Meski cukup banyak daerah yang akan dipimpin Pj dan Plt dalam kurun waktu tidak singkat, Sunanto menilai tidak akan mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Sebab Pj dan plt tinggal menjalankan sistem dan aturan yang sudah ada.

"Secara umum penunjukkan Plt ini memang tidak berdampak negatif pada jalannya pemerintahan, hanya saja persoalan demokrasi dan kepemimpinan definitif cenderung dipertanyakan," jelasnya.

Berdasarkan Perppu Pilkada, pilkada serentak dijadwalkan berlangsung dua kali yaitu pada 2015 dan 2018. Ketua Komisi II fraksi Golkar DPR Rambe Kamarulzaman mengaku lebih mendukung agar pilkada dilaksanakan pada 2015 sesuai dengan perppu.

Sebabnya ada sebanyak 204 daerah yang habis periode jabatannya sebagai kepala daerah pada 2015. Kalau pilkada diundur ke 2016 maka periode jabatan pelaksana tugas pengganti kepala daerah dianggap terlalu lama yakni selama sekitar 1 tahun menuju 2016.

Masalahnya, lanjut dia, secara substansi materi Perppu Pilkada masih banyak yang perlu dipertanyakan dan diperbaiki karena dibuat terlalu teknis. Pertama, bagaimana pengawasan bisa dilakukan kalau pilkada dilakukan serentak pada 2016.

Kedua, banyak pihak yang mewacanakan untuk mengundur pilkada ke 2016 karena jika dilaksanakan 2015 persiapannya dianggap terlalu terburu-buru. Padahal harus diperhitungkan juga kebutuhan soal kenapa pilkada dijadwalkan pada 2015 atau 2016.

"Kalau isi perppu mau diubah, kita harus cabut Perppu dulu baru kita ubah," ujar Rambe pada Gresnews.com, belum lama ini.

Wacana pengunduruan Pilkada serentak dari 2015 ke 2016 sendiri, pernah digulirkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, dalam Rapat Koordinasi Nasional Komisi Pemilihan Umum, di Jakarta, Desember 2014 lalu. Belum tuntasnya pembahasan Perppu Pilkada di DPR, diakuinya, berimplikasi langsung pada tahapan pelaksanaan Pilkada serentak 2015.

Menurut Djohermansyah, pilkada yang semula direncanakan digelar pada 2015 ada kemungkinan akan mundur setahun lagi. Sementara daerah yang harus menggelar pemilihan kepala daerah akan bertambah jika pelaksanaan pilkada serentak mundur pelaksanaannya menjadi pada 2016.
"Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 memang akan tergantung pada keputusan DPR atas perppu," tuturnya. (GressNews)

Pengamat Sarankan, Pilkada Diundur 2016

Pengamat Sarankan, Pilkada Diundur 2016 - Gedung KPU
Pengamanan di Gedung KPU
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memutuskan untuk menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pilkada. Tetapi perdebatan untuk melaksanakan pilkada langsung ataupun lewat DPRD secara serentak sudah mulai mengemuka.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menginginkan pelaksanaan pilkada dilakukan pada 15 Desember 2014. Sebaliknya, salah satu anggota DPR Komisi II Yandri Susanto mengusulkan agar pilkada diundur hingga 2016 agar semakin banyak daerah yang bisa melakukan pilkada serentak.

Menanggapi perdebatan ini, Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan pilkada akan lebih efisien jika diundur ke 2016. Karena daerah yang akan melaksanakan pilkada akan semakin banyak dan serentak. 

Masykurudin mengatakan, pemilu telah dilakukan2014, sehingga dari segi pendidikan pemilih, akan ada jeda waktu untuk pemilih menimbang kinerja anggota partai terpilih di parlemen. Jika kinerjanya baik di parlemen maka akan jadi preferensi pemilih pada pilkada. 

Sementara jika kinerjanya buruk maka bisa dibuat untuk menghukum partai agar tidak dipilih lagi. "Jadi antara satu pemilu ke pemilu berikutnya ada jeda 2,5 tahun," ujar Masykurudin kepada Awak Media, Minggu (21/12).

Ia menjelaskan, memang ada resiko jika pilkada diundur ke 2016. Misalnya akan semakin banyak pejabat sementara untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya. "Sehingga harus ada aturan yang jelas bagaimana mengganti kepala daerah tersebut," ujarnya.

Menurut Masykurudin, setidaknya ada dua cara yang mungkin dilakukan untuk mengganti kepala daerah. Pertama dengan memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang akan berakhir hingga pelaksanaan pilkada. Jika pelaksanaan pilkada diundur ke 2016 maka masa jabatan diperpanjang sekitar setahun. 

Dalam hal ini, kata dia, jika dilihat kepala daerah yang masih menjabat didominasi oleh Golkar. "Sehingga Golkar bisa mendapatkan keuntungan jika aturannya seperti itu," ujarnya.

Kedua, pejabat sementara bisa ditunjuk pemerintah daerah. Jika dilakukan dengan cara ini maka ada potensi bagi pemerintah untuk menunjuk pejabat sementara sesuai keinginan pemerintah. Hal ini bisa jadi menguntungkan pemerintah daerah yang bersangkutan.

Lebih lanjut, kedua cara yang ditempuh di atas memiliki keuntungan politis tersendiri dan ada kekurangan kelembahannya. "Sehingga perlu ada mekanisme aturan yang jelas. Jangan sampai keuntungan politis tersebut menjadi pertimbangan pembuat kebijakan," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan memundurkan pilkada ke 2016 merupakan pertimbangan yang realistis. Sebabnya pertama, KPU membutuhkan waktu yang lebih untuk mempersiapkan pemilu lantaran DPR akan membutuhkan waktu yang lama untuk menolak atau menerima Perppu pilkada.

"KPU bisa mengoptimalisasi persiapan pilkada jika dilakukan 2016," ujar Titi kepada Gresnews.com, Minggu (21/12).

Kedua, semakin banyak provinsi yang bergabung, semakin bermakna pilkada serentak. Karena kalau hanya serentak untuk tingkat kabupaten/kota tidak akan berpengaruh bagi efisiensi biaya untuk petugas penyelenggara, logistik, dan kampanye. Sementara kalau pilkada gubernur, bupati, dan walikota dilaksanakan serentak tentu biaya politiknya akan lebih efisien.

Ketiga, faktor kejenuhan pemilih harus dipertimbangkan lantaran 2014 baru saja diadakan pemilu. Kalau pilkada dilaksanakan 2015 maka tiap tahun pemilih dihadapkan pada pemilu. 

Akibatnya, tingkat partisipasi pemilih bisa tidak maksimal karena jenuh selalu menghadapi pemilu. Lagipula jika ada jeda sekitar dua tahun, pemilih bisa menimbang kinerja anggota parlemen yang sudah terpilih.
"Jika kinerjanya buruk, maka pemilih bisa menghukum partai yang bersangkutan untuk tidak dipilih lagi pada pilkada," kata Titi. (Gres News)

Reporter : Lilis Khalisotussurur
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

JPPR : Wajar Pilkada Serentak Diundur, Karena KPU Gamang

"Kemungkinan itu (KPU) bicara psikologis, bukan objektifitas. Sebagai penyelenggara pemilu, tidak boleh menggunakan psikologis. Undang-Undang yang mengatur saat ini ya Perppu, tidak ada yang lain,"

Jakarta — SG Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yusfitriadi menyesalkan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada dengan baik.

Padahal, Perppu Pilkada Nomor 1 tahun 2014 yang membatalkan Undang-undang nomor 22 tahun 2013 tentang Pemilihan Kepala Daerah secara baku sudah mencabut UU Pilkada yang disahkan DPR.

"Kemungkinan itu (KPU) bicara psikologis, bukan objektifitas. Sebagai penyelenggara pemilu, tidak boleh menggunakan psikologis. Undang-Undang yang mengatur saat ini ya Perppu, tidak ada yang lain," katanya kepada awak media, Sabtu (20/12).

Yus menyatakan demikian sehubungan dengan kegamangan lembaga penyelenggara pemilu pimpinan Husni Kamil Manik. Dimana sejak Perppu dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu, tidak meresponnya dengan segera melakukan sosialisasi ke bawah.

Padahal, pelaksana Perppu Pilkada yang kena dampaknya langsung ada ditingkat bawah.

Berbeda dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meresponnya hingga tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Yakni dengan membentuk panitia pengawas di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Bawaslu juga langsung menyusun berbagai instrumen untuk pengawasannya.

"Keluarnya Perppu tidak dibarengi dengan sosialisasi yang masif, wajar kalau persiapan Pilkada serentak 2015 tidak berjalan sempurna. Menjadi wajar pula apabila nantinya diundur ke tahun 2016," jelas Yus.

Pilkada Tak Pilih Wakil, Partai Kehilangan ATM

Pilkada Tak Pilih Wakil, Partai Kehilangan ATM
Pilkada Tak Pilih Wakil, Partai Kehilangan ATM
JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota mengatur yang dipilih hanya kepala daerah tanpa wakil. Aturan tersebut dinilai sesuai dengan semangat efisiensi meski akan merugikan bagi partai politik.

"Aturan itu sesuai dengan semangat efisiensi penyelenggaraan pilkada. Tapi bagi partai tentu akan merugikan karena potensi mendapatkan mahar atau ATM parpol jadi hilang," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afiffudin, Kamis (18/12).

Menurut dia, aturan dalam perppu tersebut sudah ideal. Karena akan menyederhanakan tahap pencalonan. Pemilihan kepala tanpa wakil juga menekan potensi politik transaksional saat pencalonan.

Apa lagi, lanjut dia, perppu juga mengatur sanksi bagi partai politik yang terbukti melakukan transaksi politik untuk mencalonkan kepala daerah. 

Jika ada usulan untuk merevisi aturan tersebut, menurut Afif, bertolak belakang dengan semangat perppu. Yang ingin menutup keran pemborosan dan politik uang dalam pemilihan kepala daerah.

"Mengubah lagi aturan paket atau nonpket itu larinya pasti pada tawar menawar kepentingan politik. Revisi murni untuk kentungan partai semata," ujarnya. (ROL)