Ayo memilih untuk Indonesia - ilustrasi - Antara |
Jakarta - "Hanya karena kita tidak tertarik dengan politik, bukan berarti politik tidak tertarik kepada kita," begitu penggalan kalimat yang diucapkan Perikles, seorang negarawan Yunani yang berpengaruh pada Zaman Keemasan.
Kutipan tersebut menjadi gambaran sebagian kondisi masyarakat yang tidak percaya dengan proses demokrasi yang sedang dibangun di Tanah Air.
Dalam upaya membangun demokrasi di Indonesia, Pemerintah berusaha menyajikan perhelatan pesta demokrasi lima tahunan dengan meriah sehingga menelan biaya yang tidak sedikit.
Dengan persiapan dan pelaksanaan Pemilu dengan biaya mahal, kehadiran masyarakat di tempat pemungutan suara (TPS) menjadi representasi penting terhadap penggunaan uang Negara.
Sedikitnya Rp22 triliun telah dialokasikan Pemerintah untuk membiayai pelaksanaan Pemilu, baik legislatif maupun presiden-wakil presiden, sehingga masyarakat yang berhak memilih selayaknya memanfaatkan kesempatan tersebut dengan bijaksana.
Dan pengadaan itu semua dihitung berdasarkan jumlah DPT yang telah ditetapkan KPU sebesar 185,8 juta orang. Artinya jika satu orang pemilih tidak hadir di TPS untuk menggunakan hak pilihnya, maka uang Negara yang akan terhambur sia-sia sebesar Rp120 ribu.
Sebanyak 70 persen dari anggaran tersebut dialokasikan untuk pengadaan dan distribusi logistik di KPU provinsi dan kabupaten-kota, baru sisanya yang sebanyak Rp844 miliar dikelola untuk keperluan di KPU Pusat.
Untuk pembiayaan logistik saja, dana yang dianggarkan di 2014 mencapai Rp2,9 triliun guna pengadaan barang dan jasa produksi hingga distribusi ke daerah. Jenis-jenis logistik pokok Pemilu yang diproduksi adalah kotak suara, surat suara, tinta suara, dan segel.
Belum lagi dana anggaran tambahan Pemilu sebesar Rp1,3 triliun untuk biaya optimalisasi pembangunan tempat pemungutan suara (TPS) dan honorarium personel Perlindungan Masyarakat (Linmas).
Deputi Koordinator Jaringan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan sikap antipati untuk hadir di TPS dan tidak menggunakan hak pilih sama saja dengan membuang uang Negara yang sudah dipersiapkan mahal untuk pelaksanaan Pemilu.
"Alangkah sia-sianya logistik Pemilu apabila kita sebagai masyarakat pemilih tidak menggunakan itu, padahal dana Pemilu itu berasal dari uang kita, rakyat Indonesia, melalui pembayaran pajak dan retribusi," kata Masykurudin.
Selain menghamburkan uang Negara sia-sia, golput hanya membuat potensi manipulasi hasil perolehan suara akan semakin tinggi.
Hal itu disebabkan surat suara, yang sudah dijatah bagi pemilih tetap, tidak digunakan dan memungkinkan dicoblos oleh oknum-oknum caleg atau partai yang tidak bertanggung jawab guna mendongkrak perolehan suara.
Oleh karena itu, hal pertama dan utama yang harus dilakukan para pemilih adalah hadir di TPS dan menggunakan hak pilih mereka.
Terkait keputusan dan bagaimana cara memilih ketika berada di dalam bilik suara, itu jmenjadi hak asasi pemilih.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan kehadiran masyarakat pemilih di TPS pada hari pemungutan suara menjadi tolok ukur pemahaman demokrasi dan pendidikan politik di Tanah Air.
Menurut dia partisipasi politik masyarakat tidak hanya diukur ketika pesta demokrasi berlangsung. Sehingga dengan memberikan pilihannya, masyarakat juga akan belajar bahwa mereka berhak menagih janji caleg dan capres-cawapres pilihannya untuk mewujudkan pembangunan lebih baik bagi Negeri.
"Partisipasi politik kita bukan hanya dengan memberikan suara di Pemilu, tetapi juga harus dilanjutkan dengan mengawasi dan menagih janji para caleg dan pemimpin terpilih. Selama ini, Pemilu sekedar realitas lima tahunan sekali saja, maka sekarang harus kita ubah paradigma itu," ujar Titi.
Golput Bukan Pilihan
Tidak sedikit masyarakat yang pesimistis terhadap proses demokrasi khususnya pelaksanaan Pemilu, sehingga muncul sikap menjadi kelompok golongan putih (golput).
Selain itu, angka korupsi di kalangan anggota parlemen, elit politik dan pejabat Negara yang semakin tinggi menjadi salah satu alasan masyarakat bahkan cenderung apatis terhadap Pemilu.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengakui hal itu menjadi penyebab turunnya partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu.
"Faktor tingginya angka kelompok golput menyebabkan partisipasi pemilih rendah, bahkan angka tersebut diperburuk dengan anggapan sebagian kalangan bahwa citra DPR semakin buruk," kata Ferry.
Sikap golput sendiri muncul pada saat pelaksanaan Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru, yang merupakan bentuk protes terhadap Pemerintah karena pada masa itu Pemilu dinilai tidak berjalan secara jujur, adil, bebas dan rahasia.
Golput merupakan gerakan moral untuk melahirkan tradisi bebas berpendapat sebagai dasar utama hidup berdemokrasi di suatu negara, karena dengan ada atau tidak ada Pemilu saat itu, kekuatan Negara tetap berada di bawah kendali militer.
Namun, istilah atau sikap golput tidak lagi sesuai dengan kondisi Negara yang menyerahkan penyelenggaraan Pemilu pada lembaga "ad hoc" bernama KPU, serta adanya lembaga pengawas yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Keterbukaan informasi terkait Pemilu juga diupayakan KPU dengan pembangunan sistem informasi yang dimaksudkan memberi akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat.
KPU berupaya membuka keterbukaan kepada masyarakat terkait tahapan pelaksanaan Pemilu, antara lain dengan membangun Sistem Informasi Pendaftaran Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Logistik (Silog) dan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng), meskipun masih memerlukan banyak perbaikan dalam beragam sistem tersebut.
Dengan beragam inovasi peraturan dan teknologi dalam Pemilu 2014 tersebut, KPU pun berharap jumlah masyarakat yang golput semakin menipis.
Pada Pemilu 1999, angka partisipasi pemilih tercatat 93 persen atau hampir mendekati seluruh daftar pemilih menggunakan hak pilih mereka. Namun angka tersebut merosot drastis hingga pada Pemilu terakhir (2009) yang mencapai 73 persen.
Maka untuk Pemilu kali ini, KPU sesumbar ingin meningkatkan persentase partisipasi pemilih setidaknya lebih dari target pencapaian yaitu 75 persen dari jumlah DPT.
(F013)
Post: Antara Yogya
Link: http://www.antarayogya.com/berita/321172/golput-tetap-bukanlah-pilihan