Belum usai kontroversi usul kenaikan gaji dan tunjangan, masyarakat dikejutkan lagi dengan rencana studi banding anggota Dewan Perwakilan Rakyat ke negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.
Ketika busung lapar belum tertangani dan krisis bahan bakar minyak (BBM) masih mendera beberapa daerah, anggota DPR pelesir ke luar negeri.
Di negeri ini, cerita tentang DPR tidak pernah menggembirakan. Pada era Orde Baru, institusi DPR tak lebih dari stempel tiap kebijakan Soeharto. Dalam sistem otoriter di mana tiap calon anggota dewan diseleksi sebelumnya oleh rezim penguasa, mungkin wajar jika kerja DPR era Orde Baru lebih mengabdi kepada Soeharto ketimbang kepada rakyat.
Tidak pantas
Namun, saat rakyat memilih langsung anggota DPR dalam pemilu yang bebas dan demokratis, rakyat berharap adanya perubahan orientasi kerja DPR.
Tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan DPR adalah wajar jika dilakukan pada saat yang tepat, dalam jumlah yang proporsional, disertai argumentasi masuk akal.
Di tengah berbagai krisis bangsa, usulan kenaikan gaji serta tunjangan anggota dan pimpinan DPR jelas melukai hati rakyat. Apalagi dengan tingkat kenaikan hampir 100 persen, didukung argumen yang absurd.
Usulan kenaikan gaji dan tunjangan dikaitkan dengan upaya DPR meningkatkan kinerja anggotanya. Padahal, kinerja DPR tak akan pernah lebih baik jika sebagian anggota sering mangkir, lebih banyak tidur, baca koran, dan sibuk ber-SMS sepanjang sidang. Sebagian lainnya lebih suka tawuran-ria dan memaksakan kehendak ketimbang bertukar pikiran secara cerdas, jujur, dan jernih.
Karena itu, amat tidak pantas bagi DPR berbicara tentang peningkatan kinerja saat mereka sendiri tidak peka terhadap situasi bangsanya.
Sebagai wakil rakyat, kinerja Dewan pertama-tama terkait dengan ada-tidaknya komitmen dan keberpihakan mereka terhadap penderitaan rakyat. Maka, ketika rakyat didera kurang gizi, busung lapar, berbagai kesulitan hidup, dan krisis BBM, yang ditunggu bangsa dari wakilnya di DPR adalah pemikiran dan usulan kebijakan alternatif di luar tawaran pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan proposal kenaikan gaji dan studi banding yang esensinya pelesir.
Pernahkah DPR mengajukan usulan kebijakan mengatasi busung lapar, strategi dan jalan keluar guna mengatasi krisis energi, atau memberi contoh berhemat energi, dengan menggunakan kendaraan umum, misalnya?
Perburuk citra
Proposal kenaikan gaji, tunjangan, dan pelesir bukan hanya melukai hati rakyat, tetapi juga memperburuk citra DPR hasil Pemilu 2004. Selain itu, martabat institusi DPR, termasuk partai dan politisi, juga direndahkan karena mengabaikan asas kepatutan. Bagaimana kinerja Dewan bisa ditingkatkan jika anggotanya lebih memperjuangkan kepentingan diri ketimbang aspirasi dan kepentingan rakyat?
Kian jelas kini, kerusakan bangsa sebagian bersumber dari perilaku elite politik yang tak pernah peduli dan hanya memikirkan diri sendiri. Beribu janji dan harapan ditumpahkan saat pemilu guna menarik dukungan agar terpilih. Bermiliar-miliar uang dihabiskan untuk memilih wakil rakyat. Harapannya, mereka memegang teguh sumpah jabatan untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, harapan rakyat tinggal harapan.
Kita prihatin dengan proposal kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR jika pemerintahan SBY menyetujuinya. Apalagi jika sinyalemen bahwa persetujuan pemerintah atas proposal kenaikan gaji dan tunjangan DPR itu merupakan bagian dari ungkapan terima kasih eksekutif atas perilaku manis Dewan selama ini.
Ironisnya, alih-alih berterima kasih kepada rakyat yang telah memilihnya, tetapi rela kekurangan gizi dan mengantre bensin serta minyak tanah dengan proposal kenaikan gaji dan studi banding, DPR justru melukai hati rakyat.
Meski anggota Dewan membaca kritik, seperti biasa, mereka tak tergugah apalagi mengubah perilakunya, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu. Kemilau takhta menutup mata hati mereka dari kebenaran dan raungan penderitaan rakyat. Selamat berpelesir.
SYAMSUDDIN HARIS Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar: