Banjir besar yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu, tidak hanya melumpuhkan perekonomian Jakarta , tetapi juga meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi kehidupan. Puluhan nyawa hilang, ratusan orang sakit, ribuan orang kehilangan rumah dan harta benda, dan ratusan ribu orang mengungsi di barak-barak penampungan. Jakarta yang sehari-harinya ramai, lumpuh tidak berdaya, menuju kematian.
Seluruh lapisan masyarakat pun dengan cepat lalu mengulurkan tangan memberi bantuan. Ada yang membantu secara individu, tetapi juga tak sedikit yang membantu melalui koordinasi kelompok. Pendeknya, tak ada masyarakat di Jakarta ini yang tak membantu saudara-saudaranya yang terkena bencana banjir. Semuanya guyup-rukun (Jawa=kompak) saling bantu-membantu.
Bahkan dalam konteks perpolitikan di DKI Jakarta , bencana ini kemudian juga dijadikan sebagai momentum bagi para calon gubernur DKI untuk ‘memperkenalkan’ diri kepada masyarakat. Mereka tidak hanya ramai-ramai datang langsung di tempat-tempat pengungsian, tetapi juga berdebat panjang lebar di koran-koran dan televisi tentang upayanya mengatasi banjir, jika kelak terpilih sebagai gubernur.
Namun dari semua lapisan masyarakat yang memberikan bantuan itu, tak ada yang lebih menarik ketimbang tiga elemen berikut, yakni: Ulf Samuelson, para artis, dan para kader serta simpatisan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
***
Ulf Samuelson adalah wakil Duta Besar Swedia untuk Indonesia . Dia tinggal di rumahnya di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Pada saat banjir, ia tidak terkena tumpahan air karena posisi rumahnya yang lebih tinggi. Karena rumah-rumah disekitarnya sudah terendam air semua, ia kemudian mempersilakan warga sekitar untuk sementara tinggal dirumahnya.
Selama beberapa hari berada di rumahnya, warga masyarakat sekitar yang berjumlah kurang lebih 30 KK (Kepala Keluarga) dan 70 orang ia cukupi kebutuhan makan dan minumnya. Tidak hanya itu, kalau malam hari, Samuelson ini mengumpulkan anak-anak kecil yang ada dirumahnya untuk diceritakan dongeng-dongeng. (The Jakarta Post, 5/2)
Elemen lain yang juga ikut membantu korban banjir adalah artis. Ada yang datang sendiri, berdua, tetapi juga banyak yang datang secara beramai-ramai. Mereka ada yang membawa bantuan dari hasil iuran dengan teman-teman dan koleganya, tetapi juga tak sedikit yang datang dengan sponsornya masing-masing. Kedatangan para artis ini pun banyak dielu-elukan, karena diantara korban banjir, banyak yang sudah mengenali wajah mereka.
Pun demikian dengan PKS. Partai ini bahkan membuat posko semi permanen, menginap berhari-hari di tempat-tempat korban pengungsian yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pendeknya, tidak ada tempat banjir yang tidak didatangi kader PKS. Semua wilayah banjir mereka sisir semua.
Lalu apa yang menjadi persoalan.? Bukankah bantuan ketiganya jelas-jelas sangat bermanfaat untuk meringankan beban para korban banjir.? Dari sisi bantuan memang tidak ada yang perlu dipersoalkan, karena bantuan mereka nyata-nyata dibutuhkan masyarakat. Sakingbutuhnya, korban banjir bahkan sering tidak ingat lagi siapa yang membantunya saat bencana itu datang.
Namun dari cara ketiganya, sesungguhnya ada perbedaan yang sangat mencolok. Apa yang dilakukan Ulf Samuelson mungkin sangat ideal dan layak ditiru. Dia melakukan semuanya atas dasar kemanusiaan. Meskipun telah mengeluarkan biaya sangat banyak, dia sama sekali tidak mempublikasikan kegiatannya. Para wartawan bahkan mengetahui tindakannya bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari teman-temannya.
Ini berbeda dengan yang dilakukan para artis kita. Seluruh artis kita yang turun lapangan tidak ada yang tidak terpublikasikan. Semua kegiatan mereka secara terinci dipublikasikan kepada masyarakat umum. Bahkan, ada artis yang datang hanya dengan sepuluh kardus mie instan dan lima kardus bungkusan lainnya, membawa pula wartawan infotainment.
Hal hampir sama juga dilakukan oleh PKS. Bedanya, jika publikasi artis melalui wartawan, partai ini mempublikasikan kegiatannya melalui atribut partainya. Seluruh posko yang didirikannya, selalu diberi spanduk dan bendera partai. Pun demikian dengan seluruh barang bantuan, dari mulai kardus mie instan, paket sembako, sampai air mineral gelas yang kecil-kecil, semua ditempeli bendera partai.
Tidak hanya itu, bantuan kepada korban juga disertai selembar kertas yang mengajak para korban untuk segera membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) karena akan segera ada Pilkada DKI. Bahkan dalam selebaran itu, dicantumkan pula nama petugas beserta nomor kontaknya yang siap membantu pembuatan kartu identitas tersebut. Adakah kaintannya dengan upaya PKS memenangkan Adang Daradjatun dalam Pilkada DKI beberapa waktu mendatang.?
***
Secara politik, apa yang dilakukan Ulf Samuelson, para artis, dan PKS sebenarnya wajar, dan tidak ada yang perlu dipersoalkan. Namun secara agama, ada masalah serius. Tindakan Ulf mungkin tidak perlu lagi dipersoalkan, bahkan layak ditiru. Tetapi apa yang dilakukan para artis kita bisa dikategorikan sebagai tindakan riya', yaitu suatu tindakan yang ingin diketahui orang lain.
Padahal dalam sebuah Hadits Nabi jelas disebutkan, bila tangan kananmu memberi bantun, janganlah tangan kirimu sampai mengetahui. Perumpamaan ini sangat jelas, jika tangan kiri saja tidak boleh mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan, apalagi orang lain. Inilah pesan penting agama, bahwa perbuatan baik tidak selayaknya diketahui orang lain, apalagi sengaja diperlihatkan.
Sementara yang dilakukan PKS, di samping masuk dalam kategori riya', juga disertai pamrih (sum’ah), yaitu pemberian sumbangan yang disertai dengan maksud-maksud tertentu. Padahal dalam agama disebutkan, lebih baik kamu tidak memberi, dari pada memberi tetapi tidak ikhlas.
Namun fenomena ini bukan sekedar monopoli artis dan PKS yang gila publikasi. Tetapi ini adalah fenomena yang tengah berkembang di masyarakat kita. Pertama, masyarakat kita sedang diarahkan untuk menjadi masyarakat yang sangat gandrung dengan publikasi. Tindakan mereka, sekecil apapun sering ingin diketahui oleh orang lain.
Kedua, masyarakat kita sesungguhnya sedang diajak untuk menjauhi semangat voluntarisme. Semangat kesetiakawanan untuk membantu sesama. Semua hal yang dilakukan hanya didasarkan atas dua hal, yaitu imbalan dan atau pamrih. Jika tidak diberi imbalan, pasti tindakannya disertai maksud tertentu, atau jika punya maksud tertentu, pura-pura tidak mau diberi imbalan. Pendeknya, tidak ada sedikit pun bantuan yang diberikan atas dasar ikhlas, memantu sesama manusia.
Keadaan demikian tentu berbahaya, terlebih jika fenomena ini dipraktekkan oleh mereka yang diberi amanat untuk mengelola negeri (pemerintah). Pertama, pemerintah tidak akan pernah bisa bekerja secara maksimal karena yang dikejar adalah kuantitas berita. Semakin banyak berita kegiatannya dimuat, semakin dianggap sukses pula pekerjaannya. Padahal, publikasi model ini sangatlah menipu karena tidak bisa menjelaskan seluruh isi kegiatan.
Kedua, bencana akan selamanya dianggap sebagai proyek. Semakin banyak bencana, maka akan semakin banyak pula honoryang dia terima dari keikutsertaannya membantu korban. Padahal, sebagai pejabat (pegawai) yang digaji dengan uang rakyat, mereka semestinya tidak hanya dituntut untuk membantu korban, tetapi juga melayani korban.
Mainstreem berpikir dan bertindak inilah yang mesti kita lawan. Membantu korban bencana memang perbuatan baik, amal shalih, dan harus kita lakukan. Tetapi membantu korban dengan sukarela tanpa disertai dengan maksud-maksud tertentu, akan jauh lebih baik dan bermanfaat. [ ]
* Oleh: Muhtadin AR, Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
** Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Seputar Indonesia , 26 Februari 2007
Tidak ada komentar: