sponsor

Slider

Berita

JPPR on SHOOt

Pers Release

Event

» » Program Politik Para Kandidat Belum Membumi

Assalamu’alaikum Warohmahtullahi Wabarokatuh. Selamat pagi, salam sejahtera buat pendengar sekalian. Kita bertemu kembali dalam program Perspekstif Baru yaitu program pendidikan publik. Kali ini kita masih berbicara tentang proses demokratisasi karena dalam hitungan minggu kita akan menghadapi pemilihan presiden tahap kedua setelah baru saja menyelesaikan pemilihan tahap pertama. Kesuksesan pemilihan tahap pertama itu disebabkan oleh kedewasaan masyarakat dalam berpolitik. Kita tahu, banyak kekurangan dari sisi teknis pada pemilihan yang lalu, tapi masyarakat tetap bijak untuk menyikapinya. Jadi tidak salah bila kita mengatakan bahwa masyarakat sudah melakukan pencapaian yang luar biasa dalam demokrasi. Untuk membicarakan berbagai hal yang bekaitan dengan pemilu, kita akan berbincang dengan Adung A Rochman. Beliau adalah Acting Director dari ISIS – Institute Of Social Institution Study – sebuah LSM yang bergerak di bidang pengkajian pranata-pranata sosial. Kebanyakan aktifis yang aktif dalam ISIS berasal dari Nahdhatul Ulama, namun Mas Adung mangatakan bahwa tidak ada kaitan struktural kecuali ikatan emosional saja. ISIS adalah lembaga yang sangat menghargai keberagaman dan demokrasi. Saya Ruddy Gobel akan memandu perbincangan ini.

Mas Adung, pemilihan presiden tahap pertama kemarin memiliki banyak  kekurangan dari sisi teknis tapi berlangsung sangat aman. Tidak ada konflik, pertumpahan darah dan semuanya berjalan baik yang menunjukkan kedewasaan masyarakat dalam berpolitik. Bagaimana anda melihat  hal ini?
Saya sependapat dengan anda dan sebelumnya hal ini sudah pernah saya sampaikan dalam suatu konferensi pers. Pemilu legislatif maupun pemilihan presiden berjalan baik, rakyat  memberikan sumbangsih paling besar. Masyarakat sudah mempunyai kedewasaan politik yang sangat tinggi dan mereka sudah biasa hidup demokratis. Saya menyangsikan statement dari elite maupun pengamat politik yang menyatakan bahwa rakyat kita belum teliti dan dewasa. Pemilu yang dilaksanakan secara langsung yang sedemikian rumit dalam waktu sempit, kita bisa melihat bahwa rakyat bisa mengikutinya dan berjalan dengan tertib. Kita tahu tidak ada suatu kejadian chaos terjadi maupun pertumpahan darah. Saya kira ini adalah perkembangan yang menarik bukan hanya bagi demokrasi Indonesia, tetapi juga masa depan bangsa Indonesia. Yang justru mengkhawatirkan adalah persiapan teknis yang menyangkut penyelenggaraan pemilu yang menurut saya agak terlambat.

Di bidang politik, masyarakat mendidik dirinya sendiri tanpa bantuan yang berarti dari pihak eksternal. Pendidikan politik tidak dilakukan oleh elite-elite politik dan mereka juga bukanlah juru bicara yang baik untuk mendidik masyarakat tentang politik. Masyarakat belajar sendiri dan menemukan sendiri kedewasaannya. Apakah ini menunjukkan bahwa sistim politik di Indonesia menuju ke arah yang lebih baik?
Saya setuju bahwa parpol, elite pemerintah atau elite politik di Indonesia tidak memberikan pendidikan politik dengan baik. Tugas mereka digantikan oleh LSM, perguruan tinggi yang kemudian melakukan pendidikan politik dan memberdayakan masyarakat untuk mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Demikian juga ketika harus bersikap terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Saya ambil contoh, lembaga kami bergerak pada penguatan fungsi partai politik, karena partai politik juga harus diberdayakan sebagai mesin, sebagai motor demokratisasi. Tapi yang terpenting adalah rakyat, kalau rakyat berdaya, rakyat mandiri, rakyat berperilaku demokratis maka sebetulnya kehidupan kita demokratis. Saya sangat senang karena  pada pemilu ini rakyat sudah mengarah kearah sana. Mengarah pada kedewasaan politik yang luar biasa.

Adung A. Rochman adalah Acting Director dari Institute Of Social Institution Study, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang juga melaksanakan program pendidikan politik. ISIS ini merupakan anggota koalisi organisasi yang membentuk Jaringan Pendidik Pemilih Untuk Rakyat (JPPR). Bagaimana anda melihat keterlibatan dalam lembaga pemantauan?
Ya, ini (JPPR-red) adalah salah satu hasil pekerjaan ISIS yang sudah kita lakukan sejak tahun 1999, kemudian pada pemilu 2004. Pendirian JPPR dilakukan menjelang pemilu 1999 yang merupakan pemilu yang pertama setelah rezim Soeharto tumbang. Ada kekhawatiran saat itu bahwa pemilu akan berlangsung dalam suasana yang berdarah-darah. Waktu itu kita tidak berpikir untuk melakukan pemantauan secara khusus, tapi kita lebih terkonsentrasi pada kerja pendidikan pemilih. Bagaimana masyarakat memahami tentang pemilu, bagaimana mereka bisa terlibat, bagaimana mereka bisa menjalankan pemilu secara damai. Sehingga kekhawatiran tentang pemilu berdarah-darah tidak terjadi. Alhamdulillah, hal itu tercapai karena kerja banyak orang dan banyak pihak. Ternyata, pada pemilu 1999 kita juga melakukan pemantauan pemilu dengan mengerahkan 117.000 relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Lalu tahun ini bersama-sama dengan 30 organisasi yang berlatar belakang organisasi kemasyarakatan, LSM, perguruan tinggi, serta organisasi lintas agama berhimpun untuk melakukan dua pekerjaan sekaligus. Yaitu, pendidikan pemilih dan pemantauan pemilu. Kita menyadari ada hal yang rumit dalam hal sistem pemilu ini dan saya anggap itu merupakan pekerjaan yang penting agar demokrasi bisa berjalan dengan baik.

Kemarin anda melakukan dua pekerjaan sekaligus yakni pendidikan politik, sosialisasi dan melakukan pemantauan. Bagaimana anda membagi tugas itu dengan teman-teman?
Pada dasarnya ada satu strategi atau metode kerja yang kita anggap penting. Masyarakat mendapatkan informasi tentang politik dan demokrasi dari orang-orang terdekat mereka, orang-orang yang mereka percayai. Kita juga mempunyai orang-orang yang luar biasa untuk itu, karena 30 organisasi tergabung dalam JPPR. Mereka memiliki struktur dan orang yang setiap hari berkecimpung dan bergaul dengan masyarakat. LSM-LSM jaringan kita biasanya bekerja dengan jaringan-jaringan LSM di daerah yang sudah mengakar dan juga bergabung dengan masyarakat sekitarnya. Karena itu pendidikan dan pemantau dilakukan dengan relatif tidak ada kesulitan.

Relawan yang diturunkan oleh JPPR untuk memantau pemilu mencapai ratusan ribu orang, bagaimana cara merekrutnya?
Cara merekrut relawan JPPR dimulai dengan memetakan wilayah yang akan kita lakukan pendidikan pemilih dan pemantauan. Kita lihat berapa kebutuhan tiap-tiap kabupaten atau daerah tersebut, setelah itu baru menentukan berapa sumbangan-sumbangan relawan dari masing-masing lembaga di kabupaten bersangkutan. Masing-masing (lembaga) kemudian bekerja dengan struktur masing-masing dengan jaringan orgaisasinya. Masing-masing melakukan kegiatan  pendidikan dan pemantauan dan menurut saya itu bukanlah pekerjaan terlalu sulit karena mereka memang hidup di masyarakat.

Dari kerja yang telah dilakukan oleh rekan-rekan di JPPR dan ISIS saat memberi pendidikan politik dan sosialisasi pemilu apa saja? Tentu banyak hal menarik yang kemudian menjadi inspirasi buat masyarakat untuk ikut berpartisipasi lebih dalam proses pendidikan politik.
Karena JPPR adalah lembaga  yang non partisan demikian juga dengan orang-orangnya, kita tidak memihak pada suatu partai, maka JPPR atau relawannya rujukan masyarakat. Masyarakat yang cenderung pada salah satu capres bisa bertanya pada JPPR tanpa takut kepentingan politiknya tercampuri. Ini yang menarik karena posisi kita netral, independen dan tidak berpihak pada partai manapun. Yang lain adalah karena relawan kita biasanya adalah relawan-relawan yang mempunyai posisi atau status yang relatif bisa didengar oleh masyarakat. Misalnya guru, kalau petani ya ketua kelompok petaninya, dan mahasiswa. Sehingga cukup kekeuh memberikan penjelasan tentang pendidikan pemilih maupun tentang pemantauan.

Apa temuan yang paling penting yang bisa dibagi kepada pendengar tentang pemilihan presiden 2004 kemarin, bagaimana kita menyikapinya dalam pemilu putaran kedua bulan September nanti?
Untuk soal-soal yang sifatnya teknis, bagaimana memilih, masyarakat sudah banyak yang tahu. Yang  perlu diperdalam oleh tim kampanye dan kita semua adalah bagaimana masyarakat mengetahui dan memahami kebijakan apa yang akan dikerjakan oleh masing-masing tim sukses dikemudian hari. Ini yang saya kira sangat kurang. Mereka tahunya hal-hal umum seperti bagaimana meningkatkan kesejahteraan para petani, tetapi mereka tidak punya bayangan bagaimana melakukan itu. Saya kira hal (program ini) penting dijelaskan kepada masyarakat. Ini tantangan besar bukan hanya bagi tim sukses tetapi juga bagi lembaga yang bekerja dalam pendidikan pemilu.

Jadi singkat kata bagaimana para pemilih kita jadi lebih tahu apa kriteria yang harus dinilai, kemudian kualitas apa yang harus jadi bahan pertimbangan sebelum mereka menentukan pilihan politiknya. Dari pengalaman sendiri bagaimana caranya?
Tadi kita sudah bicara mengenai kedewasaan berpolitik masyarakat yang sangat tinggi, tapi yang terpenting adalah rasionalitas pemilih. Masyarakat juga harus dididik menjadi pemilih yang menentukan pilihan secara rasional. Ini bisa dilakukan apabila mereka mendapat akses informasi politik yang cukup luas tentang kebijakan kepribadian, sikap tindak tanduk, track record dari mereka-mereka yang akan dipilih oleh masyarakat. Ini yang penting. Saya kira metodenya bisa macam-macam, tapi kami ISIS dan JPPR lebih mengedepankan bagaimana masyarakat dapat berdiskusi diantara mereka sendiri, melakukan dialog-dialog, mengkritisi sehingga mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri tentang siapa yang hendak dipilih.

Dalam pemilu putaran kedua bulan September nanti, apa saja yang sudah disiapkan oleh teman-teman ISIS atau JPPR? Apakah akan ada perbedaan dalam melakukan pendidikan pemilih atau pemantauan dibanding dengan putaran pertama?
Kami akan memperkaya tentang materi-materi, tentang program dan kebijakan dari dua kandidat, yang berlaga pada  pemilu 2004 bulan September, itu untuk  pendidikan pemilu. Tapi untuk pemantauan pemilu kita akan lebih berkonsentrasi memperbaiki lagi materi-materi yang akan kita pantau, dan kita akan pantau semua tahapan-tahapan pemilu lebih ketat lagi. Ini akan menjamin pemilu September 2004 ini akan berjalan dengan tepat, tertib dan jurdil.

Kalau menurut pandangan orang awam kontestannya karena tinggal dua, apakah mungkin nanti lebih mudah dipantau atau apakah justru lebih sulit?
Kalau untuk hari H-nya, kecendrungan yang terjadi adalah pelanggaran atau kekurangan administratif dan cara KPPS bekerja. Tetapi sebelum dan setelah itu pelanggaran yang mungkin terjadi adalah money politics, penggunaan fasilitas daerah atau negara, kemudian juga pelanggaran manipulasi suara di tingkat TPS maupun TPK. Saya kira kita perlu mendorong masyarakat agar menyaksikan proses tahapan-tahapan ini dengan baik. 

Sumber: Perspektif Baru

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply