sponsor

Slider

Berita

JPPR on SHOOt

Pers Release

Event

Peningkatan Kualitas Demokrasi Lokal


Oleh : Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) 

Sepuluh tahun sudah kita menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Saatnya seleksi kepemimpinan tingkat lokal ditingkatkan menjadi lebih substansial.

Sejak 2005, proses seleksi kepemimpinan di tingkat daerah terus mengalami kemajuan dengan segala tantangannya. Penyelenggaraan pilkada relatif berjalan damai dan memberikan kesempatan memilih kepala daerah secara langsung, meskipun masih menyisakan persoalan yang memerlukan perbaikan di berbagai segi.

Jaminan "hak pilih" masih terhambat seiring dengan kualitas data kependudukan yang kurang valid dan mutakhir; proses seleksi pasangan calon masih berputar-putar di kalangan elite partai tingkat pusat; penggunaan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam kampanye dengan kepentingan jangka pendek; serta pelayanan petugas yang kurang nyaman pada pemilih saat pemungutan suara hingga proses rekapitulasi yang sering kali memunculkan gugatan (JPPR, 2014).

Tantangan utama proses penyelenggaraan pilkada selama ini adalah minimnya ruang komunikasi antara partai politik dan masyarakat, terutama dalam merumuskan dan menentukan calon pemimpin daerah. Ketentuan pendaftaran pasangan calon dalam pilkada yang memerlukan surat rekomendasi dari pengurus partai politik tingkat pusat juga memperlebar aspek elitisme ini.

Menghadapi pilkada serentak 2015, upaya mewujudkan penyelenggaraan seleksi kepala daerah berlangsung lebih demokratis menjadi harapan bersama. Keberhasilan mengusung pilkada supaya tetap dilaksanakan secara langsung juga perlu disertai tanggung jawab untuk memastikannya berjalan semakin berkualitas.

Sejatinya, pemilik inti demokrasi negeri ini adalah masyarakat. Makna mendalam "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" dalam demokrasi berarti menempatkan pemilih sebagai pihak utama pada proses penyelenggaraan pemerintah daerah. Pilkada seharusnya menjadi pintu masuk dalam menjaga kedaulatan pemilih dan mengawal akuntabilitas kebijakan daerah.

Dengan perspektif ini, basis penyelenggaraan seleksi kepemimpinan daerah diubah dari yang bersifat elitis menjadi populis. Kehendak-kehendak individual masyarakat harus menjadi wadah aspirasi yang dipertimbangkan oleh partai politik sebagai kehendak bersama. Sehingga, apa yang selama ini beredar dalam perbincangan warga, seharusnya menjadi titik pijak dalam mengusahakan proses demokratisasi yang populis.

Forum-forum perbincangan warga yang ringan, lahiriah, dan berlangsung alami ini merupakan suara-suara yang bebas tanpa dominasi. Apa pun latar belakangnya, setiap warga dapat secara mandiri, bebas, dan setara menyampaikan pendapat dan keinginannya. Inilah sesungguhnya modal besar untuk mengawali pelaksanaan pilkada sebagai wujud legitimasi rakyat yang sebenarnya. Komunikasi terbuka dalam forum warga seharusnya menjadi sarana untuk mendiskusikan persoalan daerah bersama para calon pemimpinnya.

Dalam konteks pelaksanaan pilkada, penyelenggara pemilu dan partai politik haruslah menjadi fasilitator dalam melayani warga untuk menentukan siapa yang dipilih menjadi petugas rakyat yang menjadi kehendak bersama.

Bagi KPU, suara publik ini menjadi bahan materi untuk membuat kebijakan dan menjaga pemilih agar semakin cerdas dan rasional. Di samping itu, penyusunan metode bagaimana strategi menyampaikan materi sosialisasi pilkada dapat dinikmati sepanjang tahapan berlangsung.

Dan bagi partai politik, aspirasi forum-forum warga di wilayah publik ini tidak hanya penting dalam penyusunan visi, misi, dan program sebagai syarat pencalonan, tapi juga berkaitan dengan aspek elektabilitas pasangan calon itu sendiri. Semakin partai politik memperhatikan kehendak publik secara intensif dalam menyusun visi, misi, dan program, maka semakin tinggi elektabilitas calonnya untuk terpilih.

Sudah saatnya menjadikan pilkada serentak 2015 sebagai bagian dari perbincangan publik yang bebas dari dominasi. Setiap warga dapat mempertimbangkan dan mendiskusikan persoalan bersama di tingkat lokal secara mudah dalam lingkungan yang demokratis.

Deliberasi pilkada akan nyata apabila KPU menjadikan perbincangan publik sebagai salah satu dasar dalam menyusun tema dan strategi pendidikan pemilih. Di sisi lain, partai politik membuka ruang yang luas terhadap aspirasi publik terkait dengan dukungan dalam proses pencalonan kepala daerah, sekaligus membuka ruang interaksi seintensif mungkin dengan masyarakat.

Kebutuhan asupan pemilih supaya cerdas dan rasional searah dengan strategi yang dikembangkan oleh KPU dan partai politik. Strategi ini membantu warga bertanggung jawab terhadap pilihannya dan secara kritis melakukan koreksi terhadap calon terpilih nantinya.

Pada akhirnya, meningkatkan kualitas demokrasi lokal dengan menjadikan pilkada serentak sebagai perbincangan di forum-forum publik secara deliberatif (secara konsultasi ke publik) menjadi tanggung jawab bersama. Tujuan penyelenggaraan pilkada serentak mendatang adalah "demokratis prosesnya, berkualitas hasilnya". 


Dimuat di Tempo,11 Mei 2015

Menatap Tahun Politik - Sebuah Refleksi Akhir Tahun

Indonesia 2014 - Tantang Tahun Politik  image: Sindo www.rmi-nu.or.id
Indonesia 2014 - Tantang Tahun Politik
image: Sindo
www.jppr.org
Mereka yang mengerti dan membaca kepustakaan mengenai Indonesia tentu akan merasa sedih dan kecewa jika ditanyai tentang kondisi negeri kita setelah 68 tahun merdeka. Sukarno, pada amanat pembukaan Kongres Gerakan Wanita Partai Serikat Islam Indonesia (GERWAPSII) di Istora Senayan, Jakarta, 1 Maret 1966, membagi gerakan kemerdekaan menjadi lima tahapan;

Pertama, tahapan Perintis, gerakan ini dimotori oleh Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker atau Dr Setiabudi. Gerakan ini bertugas agar diseminasi gagasan kemerdekaan dan nasionalisme bisa menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Kedua, tahapan Penegas, gerakan ini dimotori oleh Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sjahrir. Gerakan ini menegaskan bahwa bangsa indonesia tidak akan bisa memperbaiki nasibnya, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kultural dan politik, sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, penegasan Sukarno,- selain ciri khasnya yang gemar menggunakan repetisi,-baginya, tidak cukup sekedar “Indonesia Merdeka”, tapi “Indonesia Merdeka, Sekarang, Sekarang, Sekarang!” Sayangnya, tahapan kedua ini dilumpuhkan penjajah dengan memenjarakan dan mengasingkan tokoh-tokohnya.

Akhirnya, muncullah tahapan ketiga, yakni, gerakan pencoba, gerakan ini dimotori oleh Dr.Soetomo di Surabaya. Gerakan ketiga ini mencoba mengadakan, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia Raya dengan bekerjasama dengan kaum penjajah. Gerakan ini menambahkan kata “Raya” pada “Indonesia” menjadi “Indonesia Raya”, gerakan ini disebut dengan PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), alasan bekerjasama dengan penjajah dikarenakan habisnya seluruh tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan yang dipenjarakan penjajah. Hasilnya, tentu saja tidak berhasil. Sedari awal, Sukarno menegaskan bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai dengan bekerjasama dengan yang menjajah, tetapi harus direbut dengan macht, dengan kekuasaan, dengan tenaga, gempur-gempuran dengan pihak penjajah.

Karena tidak berhasil, maka muncullah tahapan keempat, yakni Pendobrak, pada barisan ini, duduk diantaranya Chairul Saleh, Wage Rudolf Supratman, dan K.H.Wahid Hasyim (ayah dari K.H.Abdurrahman Wahid dan putra dari Hadratus Syaikh K.H.Hasyim Asy’ari). Barisan pendobrak, atau angkatan 45 ini berusaha mendobrak alam pikiran, bahwa Indonesia bisa merdeka tanpa bekerjasama dengan pihak penjajah. Gerakan ini melahirkan Revolusi Agustus atau Revolusi Kemerdekaan, 17 agustus 1945.

Pertanyaannya kemudian, saat ini kita berada pada barisan yang mana. Menurut Sukarno, saat ini kita berada pada tahapan kelima, yaknibarisan Pelaksana kemerdekaan. Pelaksana cita-cita kemerdekaan, pelaksana Amanat Penderitaan Rakyat, pelaksana cita-cita untuk mendirikan satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme, pelaksana cita-cita dari seluruh rakyat indonesia untuk hidup di dalam sebuah dunia baru tanpa exploitation de nation par nation, tanpa imperialisme. Sebuah dunia baru dimana seluruh umat manusia hidup sebagai sahabat dengan sahabat, tanpa penghisapan satu bangsa kepada lain bangsa.

Setelah Reformasi 98 dan Menjelang Tahun Politik

Sebagai negara yang baru terbebas dari otoritarianisme,  sistem politik demokratis mensyaratkan adanya kontrol demokratik sekaligus pengawasan oleh masyarakat sipil atas badan yang diberi monopoli untuk melaksanakan amanah rakyat yaitu DPR dan Pemerintah. Berpijak dari catatan perjalanan reformasi 15 tahun ini, kebijakan negara justru  memiliki kecenderungan untuk abai terhadap rakyat yang diwakilinya, diantaranya:

Pertama, dari sudut pertimbangan Politik dan Pemerintahan, saat ini politik dipahami sebatas sebagai jabatan-jabatan publik seperti legislatif, kepresidenan, kabinet, dan partai-partai; selain itu, politik dipahami sebagai kuasa (power) semata-mata yang disertai dengan kesewenangan dalam menentukan cara, tanpa pemahaman nilai dan tindakan etis di dalamnya.  kesulitan utama proses pembangunan politik untuk  mencapai stabilitas sistem dan ketertiban sebagai bagian penting dari tujuan-tujuan politik adalah kegagalan di dalam melakukan pebadanan politik. Inti dari pebadanan politik adalah standarisasi nilai dan prosedur serta pengembangan spesialisasi fungsi dan diferensiasi struktur di mana setiap badan kenegaraan memainkan peran yang khusus. Namun dalam kenyataannya pebadanan politik ini dinilai masih tumpang tindih dengan memainkan fungsi yang jamak melalui badan-badan pemerintah yang dibentuk. Hal ini terlihat dari banyaknya lembaga politik seperti komisi-komisi yang kerapkali secara fungsi tumpang tindih dengan lembaga politik lain seperti kementrian. (lihat: KOMNASHAM vs KEMENKUMHAM, atau SKK migas vs kementrian ESDM)

Kedua, Dari sudut pertimbangan Hukum, banyak produk hukum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya negara bangsa Indonesia Misalnya UU pornografi yang tidak responsif terhadap kenyataan hidup yang berkembang di masyarakat, diantaranya mengabaikan Pluralisme, Toleransi dan Kebhinekaan masyarakat.  Demikian juga dengan pembahasan RUU Rahasia Negara, di satu sisi negara berpotensi mengancam kebebasan publik untuk mengakses informasi dan mengkriminalisasikannya, tapi di lain sisi negara telah tampil dengan keangkuhannya melalui sangsi yang dikenakan kepada publik yang posisi rentannya justru harus dilindungi. Atau Undang-Undang Penanaman Modal  yang tidak sesuai dengan konstitusi dan cenderung memberikan kebebasan kepada modal asing untuk melakukan eksploitasi atas kekayaan alam Indonesia yang pada akhirnya merugikan masa depan ekonomi rakyat Indonesia.

Ketiga, dari sudut pertimbangan Budaya, kebudayaan yang secara umum dipahami sebagai sistem nilai yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat, sering direduksi sebatas kesenian maupun artefak budaya. Kesenjangan persepsi tentang hal ini juga menjangkiti para pengambil kebijakan. Sebagai konsekuensi logisnya maka dalam produk-produk kebijakan negara yang dihasilkan  sering tidak menyentuh kebutuhan masyarakatnya, terutama dalam kebutuhan akan keadilan, kebenaran dan kearifan dalam produk-produk kebijaksanaan negara seperti yang tercantum dalam kasus-kasus diatas.

Padahal dalam pembukaan konstitusi kita secara eksplisit dikatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia bertugas untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh karena itu Kebudayaan harus diposisikan sebagai sebuah gerakan pembebasan. Kebudayan juga harus mempunyai ideologi, tidak hanya sekedar membebaskan individu  untuk  melakukan apa saja, namun juga diatur dalam kebijakan. Hadirnya  liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi, juga kapitalisme kebudayan yang dimunculkan dengan 3 jargon, yaitu food, fun, fashion, membuat kebudayaan menjadi penting untuk menangkal hal tersebut sekaligus sebagai filter.  Dalam mewadahi kepentingan tersebut,Undang-undang demokrasi ekonomi sebagai suatu keniscayaan, yang pada dasarnya akan memaknai demokrasi ekonomi. Demikian juga halnya dengan memposisikan pancasila sebagai ideologi kebudayaan.

Persoalan kebijakan, baik berupa gagasan maupun aplikasi, secara keseluruhan harus memerdekakan  rakyat dari penindasan. Kebudayaan di lain sisi menjadi simbol  perlawanan terhadap penindasan.  Demokrasi memang menjadi ruang untuk menampung konflik gagasan dalam masyarakat. Ruang itu harus selalu dibukakan seluas-luasnya. Dan dalam kebebasan itulah nilai-nilai budaya diinternalisasikan sebagai kesepakatan bersama, bukan hanya ruang yang dimaknai dan diisi oleh gagasan elit belaka seperti yang selama ini terjadi.  Menghadapi tahun politik 2014 ini, agaknya Presiden Indonesia terpilih ke depan akan punya banyak pekerjaan rumah yang tentu saja cara menghadapinya tidak dengan So Slow, Bimbang, You Don’t Know.




Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)


Sa’duddin Sabilurrasad : almuni Pondok Pesantren Fathul Ulum, Kwagean-Krenceng-Pare-Kediri-Jawa Timur.  Semasa mahasiswa pernah bergiat di berbagai Forum Studi di Jakarta maupun di Bandung, diantaranya: Komunitas pembaca Filsafat SOPHIA Bandung, Kelompok diskusi Sumur Bandung 4- Simpang Dago, Forum Muda Paramadina (FMP) Jakarta, Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) Jakarta, dan pada 2010 pernah menjadi Koordinator Paramadina Movie Society (PAMOS) : sebuah komunitas menonton film dan diskusi bersama para pembuat dan kritikus film di Jakarta. Sepanjang 2005 hingga 2012 pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Survei Indonesia (LSI),reporter di Majalah Madina, pelbagai tulisannya pernah dipublikasikan dalam buku Satu Abad Muhammadiyah (Paramadina) ,All You Need is Love: Cak Nur di Mata Anak Muda (Paramadina), NU-hammadiyah bicara Nasionalisme (Arruz Media), dan pengantar pada buku Pluralisme menyelamatkan Agama-agama (samudera biru).  Kegiatannya saat ini, selain sebagai penulis lepas, juga sedang belajar membuat film dokumenter di KAMERA MINI. 





Menanti Caleg Berkualitas

Pilar Demokrasi

(Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)

“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”

Masyarakat memiliki waktu satu minggu untuk memberi masukan dan catatan kritis soal nama-nama calon legislatif (caleg) yang sekiranya bermasalah, setelah diumumkan KPU pada 12 Juni nanti. Catatan kritis bisaterkait dugaan korupsi, ijazah palsu, kekerasan, atau pun masalah lainnya. Masukan masyarakat sangat penting, sebelum KPU menetapkan Daftar Legislatif Tetap pada 25 Agustus mendatang.

Catatan kritis masyarakat diharapkan bisa ikut menyumbang perbaikan daftar caleg, kerena mereka adalah calon pembawa aspirasi rakyat, yang telah rela memilih mereka sebagai anggota parlemen. Upaya mencari caleg yang berkualitas inilah, yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, bersama tiga narasumber, yaitu Mifta Adhi Ikshanto (dosen Fisipol UGM), Daniel Zuchron (anggota Bawaslu), dan Nurlia Dian Paramitha (Dewan Pengarah JPPR, Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat).

Dengan merujuk hasil penelitian JPRR, Nurlia menyampaikan, pada tahap pertama pengembalian berkas, banyak caleg tidak menyertakan KTA parpol dan KTP. Nurlia menduga, beberapa parpol yang tidak menyertakan berkas KTA dan KTP bagi caleg mereka, sebagai indikasi bahwa parpol tidak siap. “Setelah 12 Juni, perlu masukan masyarakat dan komitmen bersama, mengingat ada kekhawatiran kami, penyelenggara pemilu mulai tidak netral,” jelas Nurlia.

Daniel membenarkan soal ketidaksiapan parpol sejak proses awal. Daniel menengarai, sejak awal Bawaslu memperhatikan terkait kesiapan parpol, terlihat parpol tidak siap mengikuti kompetisi pemilu dengan paripurna.“Meski Bawaslu sering mengundang pengurus parpol untuk aware atau focus pada persoalan administrasi,tetap saja kedodoran. Dan selalu memanfaatkan injury time waktu yang ditetapkan PKPU sehingga hasilnya tetap saja kurang memadai,” papar Daniel.

Mifta memberi catatan khusus bagi kaum difabel, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Menurut Mifta, meski kaum difabel, perempuan, maupun kelompok rentang lain sudah dididik, melakukan tracking, sudah well informed. “Fenomena sistemik yang lain adalah seringkali manipulasi dalam penghilangan atau penggabungan suara, artinya suara yang didapat TPS dengan keseluruhan tidak cocok, sehingga pemilih sudah memilih sesuai dengan logikanya mencoblos tapi secara sistemik dimanipulasi melalui penjumlahan yang tidak pas,” kata Mifta.

Daniel menambahkan mengingat proses ini untuk pemenuhan hak dipilih seseorang, UU sudah membuat garis, dan garis itu diterjemahkan oleh KPU dan bagaimana membuktikan persyaratan itu ada. Ada 12 bentuk formulir yang diperlukan, salah satunya bersedia mengundurkan diri sebelumnya sebagai kepala daerah. “Yang paling sering ditemukan sebagai persoalan dia harus terdaftar sebagai pemilih, harus terdaftar sebagai anggotaparpol, harus mendaftarkan diri di Llmbaga perwakilan mana, dan harus daftar di dapil mana,” imbuh Daniel.

Mifta mengingatkan political tracking caleg dari sisi perilaku politiknya, kejujurannya, keberpihakannya. Itu bisa dilakukan inventarisasi kasus, semisal ada caleg tidak jujur. Dengan instrumen political tracking kita ketahui kategori mana yang patut dan tidak untuk dipilih. “Hasilnya akan kita sosialisasikan melalui jaringan masyarakat sipil yang mengadvokasi kaum difabel, marginal dan perempuan sehingga mendorong rasionalitas,” papar Mifta.

Nurlia menekankan, bagi JPPR apa yang perlu dikritisi dari caleg, utamanya soal administrasi, apakah sudahterlengkapi semua. Kalau memang mereka tidak bisa, kita harus mengatakan bahwa mereka tidak memenuhi syarat dan harus dicoret. “Itu bukti ketidaksiapan caleg dan parpolnya mengusung calon tersebut, tegas Nurlia. (Oke)

Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

Dilema Partai Dakwah

Kasus suap impor daging sapi yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dan Ahmad Fathanah menjadi drama politik yang sangat menarik untuk dinikmati. Bertambah sedap setelah kasus ini juga dibumbui keterlibatan wanita-wanita cantik yang diduga menerima aliran dana kasus tersebut. Memang para petinggi PKS sudah melokalisir persoalan ini, bahwa perempuan-perempuan cantik itu adalah persoalan Fathanah seorang, bukan persoalan LHI, apalagi PKS. Sementara Fathanah “bukan kader” PKS.
Namun apa lacur, masyarakat sudah terlanjur mengaitkan bahwa antara LHI, Fathanah, PKS, perempuan, dan korupsi daging sapi adalah satu paket, tidak bisa dipisah-pisah.
Inilah resiko yang musti ditanggung oleh PKS. Pilihannya untuk menarik agama dalam panggung politik praktis, membawa konsekuensi yang sangat besar. Bandingkan bila yang melakukan hal serupa adalah partai
lain yang tidak membawa-bawa agama dalam perilaku politiknya, mungkin tidak ada “olok-olok” dari masyarakat. Karena masyarakat terlanjur menyimpulkan, politik itu kotor, sementara agama adalah bersih. Politik itu hitam, agama itu putih. Olok-olok masyarakat ini tidak sepenuhnya salah, karena pelibatan agama dalam wilayah publik memang beresiko besar, terlebih jika yang ditarik itu persoalan agama yang bersifat privat, semisal persoalan keyakinan (aqidah). Karena apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan, nabi atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Pun demikian dengan persoalan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, puasa, haji dan
yang terkait dengannya). Ini adalah persoalan privat yang tidak boleh ditarik-tarik untuk masuk ke wilayah publik. Ini adalah murni persoalan privat karena masuk dalam kategori hukum agama tentang keluarga (al-ahwal al-syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak berhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. 
Ini berbeda dengan persoalan publik semisal muamalat (etika perdata), jinayat (pidana), dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Agama mestinya harus hadir untuk memberikan pencerahan. Namun apa mau dikata, para kader partai pada persoalan publik ini justru “teledor”. Kasus video porno atau usulan “beberapa” kader untuk membubarkan KPK beberapa waktu lalu misalnya, adalah sedikit bukti tentang ketidakpahaman para kader dalam menempatkan pelibatan agama di wilayah publik. Dampaknya pun bisa ditebak, dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat, partai ini lebih sering mengedepankan pendekatan hukum ketimbang pendekatan moralitas dan etika. Jika hukum bertumpu pada kekuasaan, maka moralitas bermuara pada kesadaran dan kesalehan. Padahal semua kita tahu, hukum dan kekuasaan itu cenderung berorientasi penyelewengan. Karena itu tidak heran, begitu partai ini melakukan kesalahan, masyarakat pun langsung mencibirnya.
Inilah fatamorgana politik yang sedang ditampilkan PKS. Mereka membungkus permainan politiknya dalam balutan agama, sehingga pendidikan politik yang diberikannya pun tidak mendidik. Pertama, banyak orang kemudian tertipu karena telah memberikan penilaian yang kurang berimbang antara PKS dengan partai lainnya. PKS dalam banyak analisa, masih ditempatkan bukan layaknya partai politik, yang rakus dengan jabatan (kekuasaan), penuh manipulasi, dan tidak peduli dengan nasib masyarakat. Partai ini masih dianggap semacam organisasi kemasyarakatan, yang berdakwah, melakukan sesuatu dengan ikhlas, tidak punya pamrih, tidak berpikir tentang jabatan, dan sangat peduli dengan nasib masyarakat. Padahal (kedua), sebagai sesama partai politik, mestinya kita memberikan analisa dan perspektif yang sama terhadap semua partai, meskipun variablenya berbeda. Semua partai yang ada di negeri ini, harus diakui belum bisa memainkan segenap fungsi dan peran strategisnya, menjadi wadah bagi perjuangan politik untuk menyejahterakan masyarakat secara umum. Partai masih dipakai sebatas sebagai alat perjuangan untuk menyejahterakan diri dan kelompoknya sendiri. Kebutuhan berpartai masih sebatas sebagai tujuan, bukan sebagai sarana. Akibat paling menakutkan dari keadaan semacam ini adalah timbulnya “sesat pikir” dalam tubuh masyarakat. Kehidupan serba kekurangan yang selalu dihadapi masyarakat justru disikapi oleh partai dengan membuat jargon-jargon palsu yang meninabobokan. Kelihatan menjanjikan perubahan dan menunjukkan keberpihakan pada rakyat kecil, tetapi sesungguhnya hanyalah pepesan kosong yang berisi kebohongan.
Sekarang, masihkan kita berpikir bahwa PKS berbeda dengan partai lainnya, yang bersih dan tidak doyan kekuasaan? Perlu disadari bersama, tantangan terbesar seorang pendakwah (termasuk juga partai dakwah) adalah menjalankan apa yang diucapkannya. Firman Allah tegas menyatakan: “kaburo maqtan ‘indallahi an taqulu mala taf’alun”. Allah murka besar terhadap orang yang bisa bicara dan mengetahui hukum atau ilmu
suatu amal tetapi tidak dilaksanakan. Jadi, jangan pernah menyampaikan kebajikan jika hidup kita masih bergelimang dengan kebusukan. Jangan mengajak hidup bersih, jika perilakunya masih korup.

PENULIS ADALAH TRAINER JARINGAN PENDIDIKAN PEMILIH UNTUK RAKYAT (JPPR) JAKARTA

Pendidikan Politik : KEWAJIBAN PARPOL (Sebuah Upaya menciptakan pemilih yang cerdas dan kritis)

Demokrasi merupakan kewenangan dan otoritas rakyat dalam menentukan kehidupan bernegara berdasarkan kedaulatan yang dimiliki. Konsistensi demokrasi dapat diukur melalui beberapa indikator, antara lain : kedaulatan penuh di tangan rakyat, pemerintahan berdasarkan mandat rakyat, jaminan hak minoritas, jaminan HAM, persamaan di depan hukum, pluralisme, musyawarah dan mufakat. Mengacu pada relitas masyarakat saat ini, penyelenggaraan demokrasi masih sangat jauh dari harapan. Banyak problem yang muncul baik dibidang tatakelola pemerintahan, penegakan hukum, tatanan sosial-ekonomi, dan HAM. Seringnya terjadi anarkisme dibeberapa derah akibat adanya penyimpangan demokrasi. Seharusnya masyarakat menjadi subjek dari demokrasi, tapi malah menjadi korban dari situasi ini. Dalam kondisi transisi demokrasi seperti sekarang ini, dibutuhkan hubungan sinergitas dimana kekuatan antara Negara-Masyarakat menjadi berimbang, sehingga masyarakat mampu melakukan bargaining demi kepentingan masyarakat itu sendiri secara luas. Begitu pula sebaliknya, kekuatan pemerintah tetap akan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Jika salah satu dari kekuatan ini berjalan dominan, baik negara atau masyarakat, akan menghasilkan tatanan bernegara yang pincang. Suatu tatanan yang ditandai oleh menguatnya peran masyarakat tanpa diikuti oleh menguatnya peran negara, tidak akan dapat berlangsung secara efektif dan akan bermuara ke anarkisme. Demikian pula sebaliknya, pada sisi lain menguatnya negara tanpa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan menimbulkan bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian-diktator. Adanya hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat, menuntut diciptakannya ruang pemberdayaan masyarakat yang semakin luas. Ruang ini, tentunya diciptakan oleh pemerintah melalui perangkat-perangkat institusional dan aturan-aturan yang jelas. Dan tentunya sangat mengedepankan nilai serta prinsip dasar demokrasi. Inilah yang dijadikan rel atau alur dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan Pemilih Sebuah Keharusan
Berkaca dari pengalaman PEMILU dan beberapa PILKADA di Indonesia pasca reformasi, maka pendidikan pemilih bagi masyarakat masih mutlak dilakukan, baik oleh penyelenggara terlebih lagi bagi partai politik dalam rangka menciptakan pemilih yang cerdas dan kritis. Ini disebabkan oleh system pemilu yang mengalami beberapakali perubahan ditambah dengan kerumitan proses pemungutan suara. Hasil-hasil PEMILU dan PILKADA yang diharapkan memantapkan perjalanan transisi menuju demokrasi substansial akan sangat bergantung kepada kecerdasan dan daya kritis para pemilih. “Proyek” tidak memilih politisi busuk, atau tidak memilih kekuatan lama, tidak akan memiliki arti kalau para pemilih tidak cerdas dan kritis. Yang lebih penting dalam pendidikan pemilih adalah bagaimana mereka menentukan pilihan secara tepat. Masalahnya, proyek pendidikan pemilih seringkali diarahkan kepada kepentingan golongan tertentu, sehingga hal tersebut sama sekali bukan pencerdasan, melainkan penghasutan dan pembodohan terhadap para pemilih. Pendidikan pemilih menjadi ajang mendidik para pemilih bagaimana memilih satu partai atau calon tertentu (legislatif-eksekutif), partai mana yang harus dicoblos/dicontreng, dan bagaiamana cara memilih nomor tertentu, jangan sampai melenceng ke nomor yang lain. Alih-alih pencerdasan, para pemilih malah dipasangi kacamata kuda. Para pemilih bukan semakin rasional dan objektif memilih, melainkan semakin tradisional dan buta terhadap kemungkinan pilihan yang lain.

Tentu saja tidak arif menimpakan kesalahan kepada partai-partai politik yang melakukan pendidikan pemilih untuk kepentingan partainya. Sebab partai politik memang selalu memiliki kepentingan dengan semua warga negara yang punya hak pilih, yaitu bagaimana partainya memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Pendidikan pemilih yang beriorientasi kepentingan suara memang salah satu bentuk kampanye dari partai-partai politik peserta Pemilu/Pilkada. Kemudian yang menjadi persoalan adalah ketika pendidikan pemilih untuk menciptakan pemilih rasional tidak memadai. Sebab hal ini akan berdampak langsung kepada hasil Pemilu/Pilkada.

Pemilu seyogyanya adalah momentum perubahan dan ajang evaluasi. Pada momentum Pemilulah rakyat bisa melakukan kritik bahkan hukuman kepada kekuatan-kekuatan politik yang bermasalah, yakni dengan cara tidak menyalurkan suara kepadanya. Momentum ini juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pemilih untuk menentukan ke arah mana bangsa ini mau dibawa. Hasil pilihan merupakan bukti kongkrit keinginan masyakarat pemilih. Hasil itu juga akan melegitimasi sebuah kekuasaan. Pemilu merupakan bentuk kekuasaan rakyat atas sebuah negara. kekuasaan itu diwakilkan kepada elit-elit politik yang dipilih dalam Pemilu. Para elit terpilih itu kemudian bisa mengklaim tindakannya sebagai tindakan yang diinginkan oleh rakyat, karena rakyat telah memilihnya.

Oleh karena itu, pemilih yang rasional sangat menentukan masa depan negara. Di tangan para pemilih rasionallah sebuah hukuman bisa dijatuhkan kepada para penguasa yang tidak becus. Sementara para pemilih yang tidak rasional atau pemilih tradisional tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka hanya melegitimasi kekuasaan terpilih, yang kemungkinan besar pilihan itu tidak tepat. Para pemilih tradisional akan dengan mudah diombang-ambing oleh segala bujuk rayu politisi. Mereka akan dengan mudah termakan oleh janji agenda-agenda pendek yang semu. Mereka dengan mudah diberi tontonan-tontonan gratis, baju kaos, mie, penampilan artis-artis ibu kota, dan semacamnya. Atau mereka dengan mudah diyakinkan dengan hanya menampilkan beberapa orang ulama yang megumbar ayat-ayat suci yang tidak relevan. Salah satu contoh, misalnya, kecenderungan para pemilih sekarang untuk tetap mempertahankan pilihannya pada Pemilu yang lalu. Padahal para penguasa terpilih yang lalu itu tidak menunjukkan kinerja yang berarti untuk mengatasi berbagai krisis yang melanda, bahkan para politisi tersebut tidak memiliki niat baik untuk melakukan perubahan, tapi kemudian dipilih lagi. Dan berbagai hasil survey menunjukkan hasil Pemilu sekarang tidak akan banyak perubahan. Ini menjadi satu bukti betapa evaluasi dari masyarakat Pemilih itu sangat minim. Kalaupun ada evaluasi, evaluasi itu tidak berangkat dari sebuah pertimbangan rasional.

Sebuah Pemilu dengan tingkat pemilih tradisional yang mayoritas, tidak akan merubah apa-apa. Serasional apapun pemilih yang berkuasa tetap golongan elit tertentu kekuasaan hanya akan berpindah dari satu elit ke tangan elit yang lain. Tapi rasionalitas pemilih akan menjadi satu tekanan bagi para elit politik untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat. Mereka akan bersaing melakukan yang terbaik. Para politisi akan berbuat sekehendak hatinya, kalau melihat kenyataan bahwa para pemilih ternyata tidak cerdas. Mereka akan menggunakan kekuasaan sekehendak keinginan mereka. Munculnya banyak nama yang bermasalah menunjukkan bahwa para politisi kita belum terlalu takut kepada hukuman masyarakat pemilih. Bahkan para politisi busuk itu cenderung memanfaatkan ketidak-rasionalan para pemilih. Dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Demokrasi muncul dari sebuah rasionalitas kekuasaan dan ia bergerak di antara orang-orang rasional.

Pada titik ini, mendidik para pemilih untuk bersikap rasional adalah sesuatu yang mutlak bagi kelangsungan demokratisasi yang sedang merangkak di antara bayang-bayang kekuasaan otoriter masa silam. Agenda-agenda reformasi terutama dikandaskan oleh ketiadaan evaluasi rasional dari para pemberi legitimasi kekuasaan, yaitu para pemilih. Logika para penguasa tentu saja adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan. Kalau para penguasa itu akan tetap bertahan dengan membodohi rakyat, maka itu akan dilakukan oleh mereka. Rakyat harus bisa mandiri dalam menentukan sikap.

Konteks Lokal
Bagi masyarakat, PILKADA sejatinya merupakan media untuk menunjukkan kedaulatannya dalam menentukan kepala baik di tingkatan kabupaten/kota maupun provinsi. Dalam PILKADA, boleh dikata pengaruh partai politik untuk menentukan pemenang tidak begitu besar. Pelajaran dari beberapa kali pelaksanaan PILKADA di beberapa daerah menunjukkan banyaknya pasangan calon yang didukung oleh partai besar, dapat dikalahkan oleh calon yang hanya didukung oleh gabungan partai kecil atau bahkan dari calon independen.

Pendidikan pemilih akan menjadi sangat berarti dalam pelaksanaan PEMILU yang akan datang dan PILKADA-PILKADA selanjutnya. Proses ini bukan hanya sekedar memberikan pemahaman tentang teknik dan tata cara pencoblosan dan hal-hal yang bersifat teknis lainnya, melainkan dapat menyentuh pada nilai yang lebih mengarah pada arti dan peran penting PEMILU dan PILKADA terhadap masyarakat. Diharapkan akan terjadi suatu perubahan pola pikir masyarakat yang tadinya hanya dianggap sebagai sebuah rutinitas dan gugur kewajiban penyelenggara, mengarah kepada memposisikan PEMILU dan PILKADA sebagai media untuk menjadikan kedauatan secara totalitas, sehingga memunculkan bargaining antara partai politik dengan masyarakat pemilih. Dalam tatanan masyarakat, pemilih cerdas memiliki posisi dan peranan yang sangat stategis untuk menciptakan demokratisasi. Iklim demokratisasi yang dibangun pada era reformasi ini, harusnya menjadi momen dimana pemilih cerdas tampil sebagai pengawal proses tersebut. Untuk itu, perlunya kesadaran akan peranan pemilih sebagai subjek dan pemahaman yang benar tentang dinamika dan proses demokratisasi yang sekarang ini berlangsung. Dimana proses ini harus membawa pada dinamika sosial politik lokal yang bermartabat dan berkeadilan sosial.

Untuk konteks lokal Sulsel, beberapa PILKADA kabupaten/kota yang telah dilangsungkan pada 2005 dan 2010 di Sulsel, masih diwarnai aksi kekerasan dan anarkisme antar pendukung karena tidak siap menerima kekalahan dari kandidat lain. Di Tana Toraja misalnya, terjadi aksi saling lempar antar massa simpatisan pasangan calon bupati dan wakil Bupati, Nikodemus Biringkanae-Kendek Rante yang bergabung dengan massa simpatisan pasangan calon bupati Victor Datuan Bata-Rosina Palloan yang bermaksud menduduki rumah jabatan bupati Tana Toraja, J Amping Situru. Massa dari dua pasangan kandidat ini tidak menerima hasil PILKADA. Demikian halnya juga terjadi di kabupaten Soppeng, terjadi pembakaran kantor KPUD dan dua kantor camat masing-masing Kecamatan Lalabata dan Marioriwawo yang dilakukan oleh massa pendukung 6 pasangan kandidat lainnya karena kecewa dengan hasil PILKADA. Dari seluruh kekisruhan tersebut, sampai saat ini kita tidak pernah melihat ketua-ketua partai pendukung kandidat meminta maaf kepada masyarakat. Yang tampak adalah aparat polisi seakan menjadi tong sampah. Sementara, partai-partai pengusung dan sang kandidat hanya berpangku tangan.

Tahun depan, tepatnya tanggal 22 Januari 2013, rakyat Sulsel kembali dilibatkan dalam pesta para elit di panggung politik lokal untuk memilih gubernur/wakil gubernur. Pesta ini adalah pesta yang kali keduanya diselenggarakan sejak tahun 2007 lalu. Dalam pagelaran pesta para elit ini nantinya, kita berharap bahwa para kontestan dan timnya tidak memancing kekisruhan di atas panggung mereka sendiri dengan menjadi “pemberontak” hasil PILKADA (baca : tidak menerima hasil perhitungan akhir KPUD), sehingga nantinya mereka bisa dicap sebagai “pemberontak” PILKADA. Semoga tidak ada kata berhenti dan semangat kita selalu terbarukan dalam memberikan pelayanan yang terbaik demi kesejahteraan rakyat Sulawesi Selatan.



Oleh : Suherman
Aktivis Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (LKPMP) Makassar  
dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sulsel   


Post: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Image: centroone.com

“SARA” Tidak Layak Jual Pada Pilkada Jakarta

Apa yang dikhawatirkan sebagian masyarakat di DKI Jakarta menjadi kenyataan. Sebulan menuju pemilihan Gubernur putaran kedua diwarnai dengan black campaign. Isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) menjadi muatan politik segelintir masyarakat yang merasa terancan dengan kemenangan Jokowi-Ahok. Namun dalan sebuah Negara demokrasi hal itu dirasa sebagai bagian terkecil dalam sistem poltik, yang pasti diserahkan kepada pihak yang berwajib dan tentunya kepada masyarakat empunya demokrasi.

Jikalau benar kemudian penyanyi dangdut Rhoma Irama ikut-ikutan dalam melakukan black campaign dengan memasukkan unsur SARA dalam ceramahnya, maka dengan ini Rhoma Irama tidak pantas dijadikan sebagai icon musik Indonesia. Jikalau kemudian terbukti, maka harus ditarik ketokohannya yang telah menghiasi layar lebar dan musik Indonesia periode 1970-an. Karena ternyata seorang yang dikagumi oleh jutaan masyarakat yang pluralis tidak memberikan contoh yang baik dalam berdemokrasi dan tidak mencerminkan masyarakat yang menghormati keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa.

Ada hal yang menarik pada pemilihan Gubernur di DKI Jakarta tahun ini, selain kemenangan pasangan Jokowi-Ahok yang merupakan pasangan pelangi juga kaitan dengan kedewasaan masyarakat Jakarta yang sudah cerdas dan mampu melihat pemimpinnya yang terbaik. Berkaitan dengan itu maka banyak yang merasa dirugikan, sehingga kekhawatiran soal Ibu Kota akan dipimpin oleh Jokowi-Ahok menguat, apalagi keduanya bukan dari Jakarta melainkan dari Solo dan Bangka Belitung. Sehingga bagi sebagian masyarakat pemilih, Jakarta tidak pantas dipimpin oleh pemimpin impor dari daerah lain.

Oleh karena itu kesempatan ini digunakan oleh pelaku-pelaku yang berkepentingan untuk Jakarta sebagai moment untuk menentang dan mengajak masyarakat untuk tetap memilih incumbent. Di lain pihak serangan terhadap Jokowi-Ahok semakin gencar, dengan isu SARA yang justru akan semakin menambah derita incumbent, kerana ternyata masyarakat Jakarta sekarang sudah terlalu tidak suka terhadap Fouzi Bowo. Jadi walau bagaimanapun tidak akan ada isu yang akan mampu menggeser figur Jokowi-Ahok untuk mamimpin ibu kota.

Kedua adalah akibat kedekatan Jokowi-Ahok dengan masyarakat, hal ini tentu kelihatan dari bagaimana masyarakat yakin atas apa yang dilakukan oleh Jokowi di Solo. Juga kaitan dengan keberhasilan dan program yang ditawarkan, bahwa sekarang masyarakat Ibu Kota sudah lebih cerdas adalah benar adanya. Oleh karenanya diharapkan dari masyarakat adalah menampik setiap isu suku, agama dan ras yang berkembang karena hanya akan menambah bahaya akan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara di lain sisi, ada pihak yang sengaja memainkan isu ini hanya untuk kepentingan pribadi dan politik semata. Tidak menghiraukan kepentingan masyarakat dan tentunya tidak memikirkan dampaknya. Sehingga masyarakat ditantang untuk lebih dewasa dan menjadikan pilkada Ibu Kota sebagai cerminan akan pilkada lain khususnya Sumatera Utara untuk tahun 2013.

Menggunakan Segala Cara

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mendapatkan 8 temuan bernuansa Suku, Ras, Agama, dan antar golongan (SARA) yang disebarkan lewat pesan singkat/SMS, terkait Pilkada DKI Jakarta putaran dua.“Kami menemukan delapan BBM dan SMS yang bernuansa SARA,” kata Manajer Pemantauan JPPR, Masykurudin Hafidz, setelah menyerahkan temuannya tersebut pada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di Jakarta. Menurutnya, temuan tersebut didapatkan oleh JPPR saat melakukan pemantauan dari tanggal 22-25 Juli 2012.

Masykurudin menjelaskan bahwa isu SARA temuannya kebanyakan terkait dengan penggunaan istilah keagamaan yang dimanfaatkan untuk tujuan politis.“Isu ini bisa datang dari lawan politik atau pun dari pihak sendiri, tujuannya untuk menaikkan suara,” kata Masykurudin.Selain itu, JPPR juga menemukan satu selebaran dan spanduk yang diduga terkait SARA. Masykurudin berharap, temuannya tersebut bisa ditindaklanjuti oleh Panwaslu.

Terutama menurutnya, panwaslu harus melakukan pencegahan agar isu-isu SARA itu tidak berlanjut menjadi konflik antarkelompok. Masykurudin menyarankan agar Panwaslu bisa bekerjasama dengan ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlathul Ulama (NU) dalam pencegahan isu SARA tersebut.”Minimal ormas-ormas itu bisa memberi wejangan kepada para anggotanya,” kata Masykurudin

Laporan dari JPPR tersebut menunjukkan terjadi persoalan menggunakan unsure SARA sebagai salah satu penghambat calon (Jokowi-Ahok) untuk menjadi pemimpin Jakarta. Kepercayaan akan dampak yang bisa mempengaruhi suara masyarakat, dimanfaatkan oleh sebagaian masyarakat Jakarta khususnya para pendukung Fauzi Bowo baik. Bahkan gerakan tersebut sudah memasuki ruang yang seharusnya lebih menekankan kebijaksanaan dan kepercayaan yakni ke Masjid dan tempat ibadah lainnya.

Sungguh sangat kasihan masyarakat yang kemudian terjebak dengan isu yang sangat tidak dewasa tersebut. Tidak ada nuansa positif dari politik busuk tersebut, yang ada hanya membuat perseteruan bisa saja terjadi. Bayangkan bagaiamana kemudian jikalau isu ini kemudian dianggap sebagai bahaya laten oleh sebagaian masyarakat maka tentu akan terjadi saling tidak percaya, apalagi yang memberitakan itu adalah tokoh agama yang memiliki pengaruh. Sungguh ironi dan sangat kasihan masyarakat yang menjadi target, diharapkan semua pihak khusus KPUD dan Panwaslu untuk menekan gerakan tersebut dan memberikan sanksi tegas terhadap semua pelaku.


Oleh: Supriadi Purba
Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)


Berebut Kuasa di Zona Golput

GOLONGAN putih alias golput menjadi jawara dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta putaran pertama yang digelar, 11 Juli 2012 lalu. Angkanya fantastis. Mencapai 2.555.207 pemilih atau 36,7 persen dari total pemilih. Tingginya angka golput tentu menjadi bidikan kubu pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang melesat maju di putaran kedua di ajang suksesi menuju DKI-1. Jika salah satu jawara yang berlaga di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta Putaran II bisa merebut mayoritas suara golput, maka dipastikan akan memenangkan pertarungan. Karenanya, tim pemenangan kedua pasang kandidat tengah mutar otak untuk mencari cara menggarap dukungan dari pemilih yang golput di putaran pertama.
Komunitas Intelektual Muda Betawi (KIMB) yang menjadi tim sukses pasangan Foke-Nara, bakal mati-matian merangkul warga DKI yang golput. "KIMB akan membangun kekuatan yang lebih strategis untuk mendorong para golput agar memberikan suaranya, serta merangkul secara langsung antara lain pemilih-pemilih pemula," ujar Ketua KIMB, Ramdan Alamsyah. Sekretaris Tim Sukses Foke-Nara, Budi Siswanto juga menilai, tingginya angka golput menjadi penyebab kekalahan Foke-Nara dalam putaran pertama.
Karenanya, angka golput yang tinggi, mendorong pihaknya untuk berupaya merebut suara golput. Untuk itu, butuh kreativitas dalam menyusun strategi yang difokuskan pada kelompok masyarakat tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Gede Pasek Swardika juga menyatakan, untuk memenangkan pasangan Foke-Nara, Partai Demokrat berencana membujuk warga yang memilih golput. “Kami sekarang akan merangsang yang golput-golput akan datang karena suara golput, yakin Pak Foke akan menang," katanya. Meski saat putaran pertama, Foke-Nara kalah suara dibandingkan Jokowi-Ahok yang memperoleh 1.847.157 suara, tidak berarti, jagoannya kalah. “Yang penting sampai injury time bisa menang," kata dia.
Tim Foke-Nara boleh saja mengklaim telah memetakan beberapa titik yang diketahui banyak pemilih golput. Namun, strategi menggalang dukungan golput juga bakal gencar dilakukan pasangan Jokowi-Ahok. Stretegi Ahok misalnya.
Dia membidik kalangan muda yang diyakini banyak golput saat putaran pertama. Menurut Ahok, dukungan suara pemuda, bakal memenangkan dirinya bersama Jokowi memimpin DKI Jakarta. Karenanya, Ahok mengharap, pemilih muda tidak apatis untuk memberikan suaranya. "Kalau anak muda memberikan suaranya pada kami, maka kami akan menang," ujarnya.
Langkah lainnya adalah dengan cara door to door (mengetuk pintu) atau menyambangi langsung komunitas pemilih yang golput. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) Tjahjo Kumolo, pasangan Jokowi-Ahok telah berkomunikasi dengan masyarakat yang menginginkan adanya perubahan pemerintahan dan percepatan pembangunan.
Menurut dia, masyarakat sudah jenuh dengan berbagai macam permasalahan DKI Jakarta, seperti macet, banjir, dan berbagai macam masalah sosial lainnya. Walaupun demikian, Tjahjo mengaku tidak ingin meremehkan pasangan Foke-Nara. "Mereka terus bangun komunikasi untuk menyerap aspirasi masyarakat. Mudah-mudahan mereka (pemilih yang golput) tergerak hatinya untuk datang ke TPS. Waktu 5-10 menit untuk memberikan hak suara, mempengaruhi sampai lima tahun ke depan," katanya.
Namun, upaya menggaet suara golput tidak mudah. Alasannya, kelompok golput terdiri dari orang-orang yang apatis terhadap kehidupan politik di negeri ini. Mereka tidak begitu saja percaya dengan jargon dan janji para kandidat. Selain itu, figur dari masing-masing kandidat menjadi penentu bagi masyarakat untuk menentukan pilihan, memilih atau tidak memilih. "Jadi, fenomena soal golput itu terkait dengan bagaimana profil calon yang muncul. Kalau tidak ada yang memuaskan publik, maka tidak akan menarik publik," kata Ketua Kelompok Kerja Pencalonan KPU DKI Jakarta Jamaludin F Hasyim.
Pemilih yang menganggap tidak ada kandidat yang menarik cenderung bersikap biasa saja dalam menanggapi perhelatan lima tahunan itu. Karena itu, kandidat berperan mengubah mindset para golput. KPU, kata dia, juga telah menyosialisasikan agar pemilih tidak golput. Namun usaha ini perlu dimaksimalkan oleh para kandidat. "Karena suara golput hampir 40 persen itu sangat tinggi," ujarnya.
Namun demikian, tingginya golput juga tidak terlepas dari kinerja KPU DKI Jakarta sebagai penyelenggara Pemilu. Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) JPPR, Masykurudin Hafidz mengatakan, tingginya angka golput karena KPUD kurang memaksimalkan melakukan sosialisasi visi, misi dan program dari pasangan calon. Hal ini menyebabkan masyarakat pemilih kurang memahami visi, misi dan program para calon dan karena itu enggan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).
"Secara resmi, KPUD memang baru sekali mengadakan debat publik pasangan calon selama masa kampanye,‘ katanya. Padahal, Masykurudin menyatakan, Pasal 24 dalam peraturan KPU No 14 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 69 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menjelaskan bahwa pelaksanaan debat pasangan calon dapat diselenggarakan oleh KPU Provinsi disiarkan langsung oleh media elektronik, dilaksanakan paling banyak 5 (lima) kali,‘ ujar Manajer Pemantauan JPPR, Masykurudin Hafidz.
Dia juga menilai, KPUD tidak mencetak visi, misi, dan program pasangan calon dalam satu buku atau media sejenis secara khusus dan membagikan sebanyak-banyaknya ke masyarakat pemilih Jakarta. Ketiadaan informasi visi, misi dan program yang lengkap dan berimbang yang dicetak dalam satu buku ini, kata Masykurudin, membuat masyarakat kekurangan informasi dalam mempertimbangkan calon yang akan dipilih. Padahal, Pasal 15 dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka pendidikan politik, dapat memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye dan sosialisasi kampanye yang meliputi visi, misi, dan pasangan calon.
Masykurudin juga menilai, kampanye tim pasangan calon yang mengerahkan kekuatan massa tidak efektif memberi pendidikan politik para pemilih. "Kampanye dengan cara unjuk kekuatan dukungan dengan penggalangan masa seperti ini justru kontraproduktif dan membuat masyarakat tidak simpatik," ujarnya. Masykurudin juga menilai, pemasangan alat peraga kampanye oleh tim pasangan calon tidak membuat masyarakat antusias. "Masyarakat justru tidak paham akan visi, misi dan program dari pasangan calon, tetapi justru sebaliknya, membuat masyarakat pemilih semakin malas dan apatis untuk datang mencoblos ke TPS,"ujarnya.

M. Yamin Panca Setia/Fransiskus Saverius Herdiman/Nofrita



Sumber: Jurnas, 26 Juli 2012