sponsor

Slider

Berita

JPPR on SHOOt

Pers Release

Event

» » Pendidikan Politik : KEWAJIBAN PARPOL (Sebuah Upaya menciptakan pemilih yang cerdas dan kritis)

Demokrasi merupakan kewenangan dan otoritas rakyat dalam menentukan kehidupan bernegara berdasarkan kedaulatan yang dimiliki. Konsistensi demokrasi dapat diukur melalui beberapa indikator, antara lain : kedaulatan penuh di tangan rakyat, pemerintahan berdasarkan mandat rakyat, jaminan hak minoritas, jaminan HAM, persamaan di depan hukum, pluralisme, musyawarah dan mufakat. Mengacu pada relitas masyarakat saat ini, penyelenggaraan demokrasi masih sangat jauh dari harapan. Banyak problem yang muncul baik dibidang tatakelola pemerintahan, penegakan hukum, tatanan sosial-ekonomi, dan HAM. Seringnya terjadi anarkisme dibeberapa derah akibat adanya penyimpangan demokrasi. Seharusnya masyarakat menjadi subjek dari demokrasi, tapi malah menjadi korban dari situasi ini. Dalam kondisi transisi demokrasi seperti sekarang ini, dibutuhkan hubungan sinergitas dimana kekuatan antara Negara-Masyarakat menjadi berimbang, sehingga masyarakat mampu melakukan bargaining demi kepentingan masyarakat itu sendiri secara luas. Begitu pula sebaliknya, kekuatan pemerintah tetap akan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Jika salah satu dari kekuatan ini berjalan dominan, baik negara atau masyarakat, akan menghasilkan tatanan bernegara yang pincang. Suatu tatanan yang ditandai oleh menguatnya peran masyarakat tanpa diikuti oleh menguatnya peran negara, tidak akan dapat berlangsung secara efektif dan akan bermuara ke anarkisme. Demikian pula sebaliknya, pada sisi lain menguatnya negara tanpa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan menimbulkan bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian-diktator. Adanya hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat, menuntut diciptakannya ruang pemberdayaan masyarakat yang semakin luas. Ruang ini, tentunya diciptakan oleh pemerintah melalui perangkat-perangkat institusional dan aturan-aturan yang jelas. Dan tentunya sangat mengedepankan nilai serta prinsip dasar demokrasi. Inilah yang dijadikan rel atau alur dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan Pemilih Sebuah Keharusan
Berkaca dari pengalaman PEMILU dan beberapa PILKADA di Indonesia pasca reformasi, maka pendidikan pemilih bagi masyarakat masih mutlak dilakukan, baik oleh penyelenggara terlebih lagi bagi partai politik dalam rangka menciptakan pemilih yang cerdas dan kritis. Ini disebabkan oleh system pemilu yang mengalami beberapakali perubahan ditambah dengan kerumitan proses pemungutan suara. Hasil-hasil PEMILU dan PILKADA yang diharapkan memantapkan perjalanan transisi menuju demokrasi substansial akan sangat bergantung kepada kecerdasan dan daya kritis para pemilih. “Proyek” tidak memilih politisi busuk, atau tidak memilih kekuatan lama, tidak akan memiliki arti kalau para pemilih tidak cerdas dan kritis. Yang lebih penting dalam pendidikan pemilih adalah bagaimana mereka menentukan pilihan secara tepat. Masalahnya, proyek pendidikan pemilih seringkali diarahkan kepada kepentingan golongan tertentu, sehingga hal tersebut sama sekali bukan pencerdasan, melainkan penghasutan dan pembodohan terhadap para pemilih. Pendidikan pemilih menjadi ajang mendidik para pemilih bagaimana memilih satu partai atau calon tertentu (legislatif-eksekutif), partai mana yang harus dicoblos/dicontreng, dan bagaiamana cara memilih nomor tertentu, jangan sampai melenceng ke nomor yang lain. Alih-alih pencerdasan, para pemilih malah dipasangi kacamata kuda. Para pemilih bukan semakin rasional dan objektif memilih, melainkan semakin tradisional dan buta terhadap kemungkinan pilihan yang lain.

Tentu saja tidak arif menimpakan kesalahan kepada partai-partai politik yang melakukan pendidikan pemilih untuk kepentingan partainya. Sebab partai politik memang selalu memiliki kepentingan dengan semua warga negara yang punya hak pilih, yaitu bagaimana partainya memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Pendidikan pemilih yang beriorientasi kepentingan suara memang salah satu bentuk kampanye dari partai-partai politik peserta Pemilu/Pilkada. Kemudian yang menjadi persoalan adalah ketika pendidikan pemilih untuk menciptakan pemilih rasional tidak memadai. Sebab hal ini akan berdampak langsung kepada hasil Pemilu/Pilkada.

Pemilu seyogyanya adalah momentum perubahan dan ajang evaluasi. Pada momentum Pemilulah rakyat bisa melakukan kritik bahkan hukuman kepada kekuatan-kekuatan politik yang bermasalah, yakni dengan cara tidak menyalurkan suara kepadanya. Momentum ini juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pemilih untuk menentukan ke arah mana bangsa ini mau dibawa. Hasil pilihan merupakan bukti kongkrit keinginan masyakarat pemilih. Hasil itu juga akan melegitimasi sebuah kekuasaan. Pemilu merupakan bentuk kekuasaan rakyat atas sebuah negara. kekuasaan itu diwakilkan kepada elit-elit politik yang dipilih dalam Pemilu. Para elit terpilih itu kemudian bisa mengklaim tindakannya sebagai tindakan yang diinginkan oleh rakyat, karena rakyat telah memilihnya.

Oleh karena itu, pemilih yang rasional sangat menentukan masa depan negara. Di tangan para pemilih rasionallah sebuah hukuman bisa dijatuhkan kepada para penguasa yang tidak becus. Sementara para pemilih yang tidak rasional atau pemilih tradisional tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka hanya melegitimasi kekuasaan terpilih, yang kemungkinan besar pilihan itu tidak tepat. Para pemilih tradisional akan dengan mudah diombang-ambing oleh segala bujuk rayu politisi. Mereka akan dengan mudah termakan oleh janji agenda-agenda pendek yang semu. Mereka dengan mudah diberi tontonan-tontonan gratis, baju kaos, mie, penampilan artis-artis ibu kota, dan semacamnya. Atau mereka dengan mudah diyakinkan dengan hanya menampilkan beberapa orang ulama yang megumbar ayat-ayat suci yang tidak relevan. Salah satu contoh, misalnya, kecenderungan para pemilih sekarang untuk tetap mempertahankan pilihannya pada Pemilu yang lalu. Padahal para penguasa terpilih yang lalu itu tidak menunjukkan kinerja yang berarti untuk mengatasi berbagai krisis yang melanda, bahkan para politisi tersebut tidak memiliki niat baik untuk melakukan perubahan, tapi kemudian dipilih lagi. Dan berbagai hasil survey menunjukkan hasil Pemilu sekarang tidak akan banyak perubahan. Ini menjadi satu bukti betapa evaluasi dari masyarakat Pemilih itu sangat minim. Kalaupun ada evaluasi, evaluasi itu tidak berangkat dari sebuah pertimbangan rasional.

Sebuah Pemilu dengan tingkat pemilih tradisional yang mayoritas, tidak akan merubah apa-apa. Serasional apapun pemilih yang berkuasa tetap golongan elit tertentu kekuasaan hanya akan berpindah dari satu elit ke tangan elit yang lain. Tapi rasionalitas pemilih akan menjadi satu tekanan bagi para elit politik untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat. Mereka akan bersaing melakukan yang terbaik. Para politisi akan berbuat sekehendak hatinya, kalau melihat kenyataan bahwa para pemilih ternyata tidak cerdas. Mereka akan menggunakan kekuasaan sekehendak keinginan mereka. Munculnya banyak nama yang bermasalah menunjukkan bahwa para politisi kita belum terlalu takut kepada hukuman masyarakat pemilih. Bahkan para politisi busuk itu cenderung memanfaatkan ketidak-rasionalan para pemilih. Dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Demokrasi muncul dari sebuah rasionalitas kekuasaan dan ia bergerak di antara orang-orang rasional.

Pada titik ini, mendidik para pemilih untuk bersikap rasional adalah sesuatu yang mutlak bagi kelangsungan demokratisasi yang sedang merangkak di antara bayang-bayang kekuasaan otoriter masa silam. Agenda-agenda reformasi terutama dikandaskan oleh ketiadaan evaluasi rasional dari para pemberi legitimasi kekuasaan, yaitu para pemilih. Logika para penguasa tentu saja adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan. Kalau para penguasa itu akan tetap bertahan dengan membodohi rakyat, maka itu akan dilakukan oleh mereka. Rakyat harus bisa mandiri dalam menentukan sikap.

Konteks Lokal
Bagi masyarakat, PILKADA sejatinya merupakan media untuk menunjukkan kedaulatannya dalam menentukan kepala baik di tingkatan kabupaten/kota maupun provinsi. Dalam PILKADA, boleh dikata pengaruh partai politik untuk menentukan pemenang tidak begitu besar. Pelajaran dari beberapa kali pelaksanaan PILKADA di beberapa daerah menunjukkan banyaknya pasangan calon yang didukung oleh partai besar, dapat dikalahkan oleh calon yang hanya didukung oleh gabungan partai kecil atau bahkan dari calon independen.

Pendidikan pemilih akan menjadi sangat berarti dalam pelaksanaan PEMILU yang akan datang dan PILKADA-PILKADA selanjutnya. Proses ini bukan hanya sekedar memberikan pemahaman tentang teknik dan tata cara pencoblosan dan hal-hal yang bersifat teknis lainnya, melainkan dapat menyentuh pada nilai yang lebih mengarah pada arti dan peran penting PEMILU dan PILKADA terhadap masyarakat. Diharapkan akan terjadi suatu perubahan pola pikir masyarakat yang tadinya hanya dianggap sebagai sebuah rutinitas dan gugur kewajiban penyelenggara, mengarah kepada memposisikan PEMILU dan PILKADA sebagai media untuk menjadikan kedauatan secara totalitas, sehingga memunculkan bargaining antara partai politik dengan masyarakat pemilih. Dalam tatanan masyarakat, pemilih cerdas memiliki posisi dan peranan yang sangat stategis untuk menciptakan demokratisasi. Iklim demokratisasi yang dibangun pada era reformasi ini, harusnya menjadi momen dimana pemilih cerdas tampil sebagai pengawal proses tersebut. Untuk itu, perlunya kesadaran akan peranan pemilih sebagai subjek dan pemahaman yang benar tentang dinamika dan proses demokratisasi yang sekarang ini berlangsung. Dimana proses ini harus membawa pada dinamika sosial politik lokal yang bermartabat dan berkeadilan sosial.

Untuk konteks lokal Sulsel, beberapa PILKADA kabupaten/kota yang telah dilangsungkan pada 2005 dan 2010 di Sulsel, masih diwarnai aksi kekerasan dan anarkisme antar pendukung karena tidak siap menerima kekalahan dari kandidat lain. Di Tana Toraja misalnya, terjadi aksi saling lempar antar massa simpatisan pasangan calon bupati dan wakil Bupati, Nikodemus Biringkanae-Kendek Rante yang bergabung dengan massa simpatisan pasangan calon bupati Victor Datuan Bata-Rosina Palloan yang bermaksud menduduki rumah jabatan bupati Tana Toraja, J Amping Situru. Massa dari dua pasangan kandidat ini tidak menerima hasil PILKADA. Demikian halnya juga terjadi di kabupaten Soppeng, terjadi pembakaran kantor KPUD dan dua kantor camat masing-masing Kecamatan Lalabata dan Marioriwawo yang dilakukan oleh massa pendukung 6 pasangan kandidat lainnya karena kecewa dengan hasil PILKADA. Dari seluruh kekisruhan tersebut, sampai saat ini kita tidak pernah melihat ketua-ketua partai pendukung kandidat meminta maaf kepada masyarakat. Yang tampak adalah aparat polisi seakan menjadi tong sampah. Sementara, partai-partai pengusung dan sang kandidat hanya berpangku tangan.

Tahun depan, tepatnya tanggal 22 Januari 2013, rakyat Sulsel kembali dilibatkan dalam pesta para elit di panggung politik lokal untuk memilih gubernur/wakil gubernur. Pesta ini adalah pesta yang kali keduanya diselenggarakan sejak tahun 2007 lalu. Dalam pagelaran pesta para elit ini nantinya, kita berharap bahwa para kontestan dan timnya tidak memancing kekisruhan di atas panggung mereka sendiri dengan menjadi “pemberontak” hasil PILKADA (baca : tidak menerima hasil perhitungan akhir KPUD), sehingga nantinya mereka bisa dicap sebagai “pemberontak” PILKADA. Semoga tidak ada kata berhenti dan semangat kita selalu terbarukan dalam memberikan pelayanan yang terbaik demi kesejahteraan rakyat Sulawesi Selatan.



Oleh : Suherman
Aktivis Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (LKPMP) Makassar  
dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sulsel   


Post: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Image: centroone.com

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply