Pilar Demokrasi
(Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Masyarakat memiliki waktu satu minggu untuk memberi masukan dan catatan kritis soal nama-nama calon legislatif (caleg) yang sekiranya bermasalah, setelah diumumkan KPU pada 12 Juni nanti. Catatan kritis bisaterkait dugaan korupsi, ijazah palsu, kekerasan, atau pun masalah lainnya. Masukan masyarakat sangat penting, sebelum KPU menetapkan Daftar Legislatif Tetap pada 25 Agustus mendatang.
Catatan kritis masyarakat diharapkan bisa ikut menyumbang perbaikan daftar caleg, kerena mereka adalah calon pembawa aspirasi rakyat, yang telah rela memilih mereka sebagai anggota parlemen. Upaya mencari caleg yang berkualitas inilah, yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, bersama tiga narasumber, yaitu Mifta Adhi Ikshanto (dosen Fisipol UGM), Daniel Zuchron (anggota Bawaslu), dan Nurlia Dian Paramitha (Dewan Pengarah JPPR, Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat).
Dengan merujuk hasil penelitian JPRR, Nurlia menyampaikan, pada tahap pertama pengembalian berkas, banyak caleg tidak menyertakan KTA parpol dan KTP. Nurlia menduga, beberapa parpol yang tidak menyertakan berkas KTA dan KTP bagi caleg mereka, sebagai indikasi bahwa parpol tidak siap. “Setelah 12 Juni, perlu masukan masyarakat dan komitmen bersama, mengingat ada kekhawatiran kami, penyelenggara pemilu mulai tidak netral,” jelas Nurlia.
Daniel membenarkan soal ketidaksiapan parpol sejak proses awal. Daniel menengarai, sejak awal Bawaslu memperhatikan terkait kesiapan parpol, terlihat parpol tidak siap mengikuti kompetisi pemilu dengan paripurna.“Meski Bawaslu sering mengundang pengurus parpol untuk aware atau focus pada persoalan administrasi,tetap saja kedodoran. Dan selalu memanfaatkan injury time waktu yang ditetapkan PKPU sehingga hasilnya tetap saja kurang memadai,” papar Daniel.
Mifta memberi catatan khusus bagi kaum difabel, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Menurut Mifta, meski kaum difabel, perempuan, maupun kelompok rentang lain sudah dididik, melakukan tracking, sudah well informed. “Fenomena sistemik yang lain adalah seringkali manipulasi dalam penghilangan atau penggabungan suara, artinya suara yang didapat TPS dengan keseluruhan tidak cocok, sehingga pemilih sudah memilih sesuai dengan logikanya mencoblos tapi secara sistemik dimanipulasi melalui penjumlahan yang tidak pas,” kata Mifta.
Daniel menambahkan mengingat proses ini untuk pemenuhan hak dipilih seseorang, UU sudah membuat garis, dan garis itu diterjemahkan oleh KPU dan bagaimana membuktikan persyaratan itu ada. Ada 12 bentuk formulir yang diperlukan, salah satunya bersedia mengundurkan diri sebelumnya sebagai kepala daerah. “Yang paling sering ditemukan sebagai persoalan dia harus terdaftar sebagai pemilih, harus terdaftar sebagai anggotaparpol, harus mendaftarkan diri di Llmbaga perwakilan mana, dan harus daftar di dapil mana,” imbuh Daniel.
Mifta mengingatkan political tracking caleg dari sisi perilaku politiknya, kejujurannya, keberpihakannya. Itu bisa dilakukan inventarisasi kasus, semisal ada caleg tidak jujur. Dengan instrumen political tracking kita ketahui kategori mana yang patut dan tidak untuk dipilih. “Hasilnya akan kita sosialisasikan melalui jaringan masyarakat sipil yang mengadvokasi kaum difabel, marginal dan perempuan sehingga mendorong rasionalitas,” papar Mifta.
Nurlia menekankan, bagi JPPR apa yang perlu dikritisi dari caleg, utamanya soal administrasi, apakah sudahterlengkapi semua. Kalau memang mereka tidak bisa, kita harus mengatakan bahwa mereka tidak memenuhi syarat dan harus dicoret. “Itu bukti ketidaksiapan caleg dan parpolnya mengusung calon tersebut, tegas Nurlia. (Oke)
Post: http://beritamanado.com
Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Tidak ada komentar: