JPPR, JAKARTA--Transaksional politik akan makin mengemuka pada hari – H pilkada DKI 11 Juli nantinya. Tapi ironisnya masih banyak warga Jakarta yang belum secara tepat mengetahui tiap nomor urut keenam paslon pilkada DKI.
Hal ini terungkap dalam diskusi “Bagaimana Mengawasi Potensi Kecurangan” yang diselenggarakan The Indonesian Institute. Hadir sebagai pembicara Dahliah Umar (Ketua KPUD DKI), Hanta Yuda (Peneliti TII), Ramdansyah (Ketua Panwaslu), dan Masykurudin Hafidz (JPPR).
Ramdansyah menyampaikan, dibalik begitu besarnya politik uang, kadang pada hari H pemilu, warga Jakarta masih ada yang salah contreng. Bisa jadi, memang ada kesengajaan jika terjadi di TPS pemukiman elit, karena memilih untuk golput tapi tetap merusak kertas suara agar tak disalahgunakan. “Sayangnya, pengalaman di 2009 (pemilu), kesalahan penandaan jauh lebih banyak di TPS – TPS pemukiman masyarakat menengah bawah,” kata Ramdansyah
Meski demikian, Ramdansyah melanjutkan, problem money politics masih menjadi potensi kecurangan paling besar. Utamanya pembiayaan beberapa paslon terhadap tim kampanye.
“Misal seorang cagub memiliki suatu simpatisan timses ratusan ribu orang, itu bagaimana membiayainya ? Ada kerancuan antara timses dengan masyarakat biasa. Bisa jadi, seorang cagub nanti mengklaim, tidak melakukan money politics, tapi memberi uang lelah untuk simpatisan timsesnya,” terang Ramdansyah
Sementara Dahliah Umar mengatakan, tiap cagub memang berhak mengumpulkan dana kampanye, tapi cagub juga wajib menyampaikan secara transparan, karena sumbangan bukan merupakan uang mereka.
“Sekalipun auditor selalu kesulitan memantau secara keseluruhan dana kampanye tiap calon, tapi KPU juga mekanisme tersendiri untuk memantau dana kampanye. Misalnya, melihat masif tidaknya berbagai aksi kampanye tiap calon. Saat suatu calon melakukan kampanye amat masif, tentu secara logis angka biaya dana kampanye calon tersebut amat besar,” tutur Dahliah
Hanta Yuda menyampaikan, problem kecurangan sebetulnya bukan sebatas money politics utamanya di masyarakat menengah bawah. Tapi harus diantisipasi jika beberapa oknum di KPUD melakukan upaya terselubung dengan suatu paslon agar paslon tersebut dimenangkan
“Harus hati – hati bahwa jelang atau pada hari – H, transaksional politik bukan sebatas antar tiap paslon pada publik, tapi juga kemungkinan transaksional politik antara tiap paslon dengan penyelenggara pemilu,”, jelas Hanta
Hanta juga menambahkan, isu SARA akan diembuskan makin kuat mendekati pilkada. Padahal harusnya, kampanye tiap paslon tetap beretika. Termasuk juga agar paslon harusnya tak memakai tempat ibadah sebagai ruang berkampanye.
Sementara Masykurudin Hafidz melihat bahwa sekalipun problem money politics amat besar dan perang alat peraga kampanye sudah amat mengotori ruang publik,ironisnya warga Jakarta utamanya di pinggiran, justru banyak yang sebetulnya tak tahu siapa saja paslon yang berlaga dalam pilkada. Hal ini merujuk survei yang dilakukan JPPR pada 1058 responden, antara 22 Mei – 20 Juni 2012.
“Ada warga Jakarta di dekat Bekasi bahkan hanya tahu bahwa yang berlaga dalam pilkada 2 paslon saja”, ujar Masykurudin.
Dari survei tersebut, JPPR menilai KPUD tidak memaksimalkan sosialisasi kandidat dalam debat paslon. Misalnya dalam acara debat kampanye di TV.
“Yang sering terjadi, jika acara debat ditayangkan live, esensinya kabur saat acara tersebut dijeda dengan iklan. Hal ini karena beberapa paslon tertentu amat aktif menyiarkan iklannya dalam slot iklan suatu debat live di tv. Hal itu tentu merugikan paslon lainnya yang tak mampu berkampanye besar – besaran di TV,” tutur Masykurudin
Dalam salah satu aspek hasil survei JPPR, lanjut Masykurudin, 31 % responden mengeathui pilkada dari TV, 22 % dari RT / RW, koran 12 %, tapi KPUD hanya 3 persen.
“sebetulnya agak rentan disaat warga tahu pilkada dari RT / RW, karena RT / RW perangkat pemerintahan, dan cenderung bias menyampaikan sosialisasi pilkada’” urai Masykurudin
JPPR menambahkan, KPUD tidak melakukan publikasi ringkas atas tiap visi misi paslon dan kemudian disebarkan ke publik,misalnya melalui baliho. Padahal, dengan lebih masif menyampaikan ringkasan visi-misidi baliho akan memudahkan masyarakat memahami fokus kebijakan yang akan diambil gubernur terpilih. Apalagi JPPR menilai, beberapa prioritas kampanye tiap paslon, misal masalah kemacetan atau banjir, sebetulnya solusinya homogen antar paslon.
(AMP)
Sumber: Perludem
Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Tidak ada komentar: