JPPR-Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta yang jatuh pada Rabu, 11 Juli 2012, tinggal beberapa hari lagi. Minggu (24/6) tahapan kampanye pun dimulai. Kini saatnya bagi 6,2 juta pemilih di Jakarta untuk menilai secara kritis enam pasang calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Program yang disampaikan para kandidat, menurut Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Saldi Isra, hendaknya dinilai secara cermat. Sebaliknya, pasangan calon juga harus aktif menyampaikan program konkret dan terukur agar pemilih tertarik menggunakan hak pilihnya.
”Dasarnya pada program, bukan pada janji yang tidak jelas. Karena itu, masyarakat Jakarta harus memanfaatkan masa kampanye untuk mendalami apa saja yang ditawarkan para calon untuk Jakarta,” tutur Saldi.
Ia berharap, Jakarta bisa menjadi barometer pemilihan umum secara nasional karena memiliki kelas menengah yang cukup besar sehingga bisa menjadi pemilih cerdas. Dia juga percaya, kelas menengah di Jakarta memiliki kapabilitas untuk ”membongkar” program yang ditawarkan, termasuk apakah para calon sekadar berbohong atau tidak.
Dia mencontohkan, bisa saja ada calon yang mengatakan jika terpilih akan menggratiskan biaya pendidikan. Padahal, oleh pemerintah pusat biaya pendidikan dasar memang sudah digratiskan. Untuk itu, kelompok atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang sosial dan pendidikan bisa berpartisipasi mendorong diskusi-diskusi kritis.
Jangan apatis
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti juga berharap, masyarakat Jakarta tidak apatis dalam pilkada. Sebab, peran gubernur dan wakil gubernur sangat strategis, yaitu bersama DPRD membuat peraturan daerah serta menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian, mereka yang terpilih akan mengatur beban apa yang harus ditanggung warga Jakarta dan apa saja yang bisa dinikmati warga Jakarta.
”Masyarakat itu apatis karena mereka menilai, apa hubungannya pilkada dengan mereka atau apa pengaruhnya terhadap mereka,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengatakan, pasangan calon juga memiliki tugas menyampaikan program yang konkret dan terukur agar bisa dipahami masyarakat. Dengan demikian, mereka kemudian tertarik berpartisipasi.
”Kalau masyarakat apatis dan tidak tertarik, akhirnya orang yang punya pengaruh dan punya akses pada proses politik yang bisa menikmati,” ujarnya.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, prihatin dengan sikap kritis masyarakat Jakarta yang mulai dikalahkan oleh persepsi sulit percaya pada janji-janji politisi. Hal ini terjadi karena mereka sudah merasa lama dikecewakan.
Kekecewaan pemilih bermuara pada sikap sinis-apatis karena prestasi partai politik yang buruk. Sikap ini berbahaya karena berpotensi menjadi pembangkangan sosial.
Pesimisme dan perasaan kecewa yang melahirkan sikap apatis merupakan akumulasi dari menumpuknya masalah nasional atau lokal. Jakarta, misalnya, kini menjadi gula bagi kekuatan asing dan pendatang dari dalam negeri. Fenomena ini pula yang menyebabkan beban polisi semakin berat. Mereka menerima getah dari pembangunan yang salah.
”Memang ada yang kritis-aktif terhadap proses politik menjelang pilkada, tetapi kelompok ini jumlahnya relatif kecil. Sikap kritis baru sebatas pada mereka yang mempunyai hubungan struktural atau emosional dengan calon,” kata Komaruddin.
Masa depan Jakarta
Mulai tumpulnya sikap masyarakat seharusnya jadi perhatian serius. Para calon kepala daerah, partai politik, dan pemerintah berkewajiban menumbuhkan sikap kritis itu. Caranya, kata Komaruddin, melakukan pendidikan politik kepada warga Jakarta bahwa pilkada sangat penting artinya bagi masa depan Jakarta, bahkan Indonesia.
Gejala pesimisme pemilih juga tergambar dari hasil survei Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia pada 24 Mei-4 Juni terhadap 594 responden. Sesuai survei itu, 65 persen responden mengaku tidak mengetahui jumlah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Sebanyak 64 persen responden belum tahu nama-nama pasangan calon. Begitu juga dengan jadwal pilkada, sebanyak 57,9 persen responden mengaku belum mengetahui secara persis.
Sikap kritis dan pengetahuan pemilih menjadi pertanyaan karena survei dilakukan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta mengumumkan enam pasang calon gubernur dan wakil gubernur pada 11 Mei.
Stop politik uang
Dalam deklarasi bersama Stop Politik Uang di Bundaran HI, Minggu, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Gubernur DKI Jakarta dan empat LSM mengajak masyarakat menolak politik uang dalam kampanye pilkada. Masyarakat diajak untuk tidak lagi menggunakan slogan ”Ambil Uangnya”, tetapi menggantinya dengan ”Jangan Ambil Uangnya dan Jangan Pilih Orangnya”.
Empat LSM yang ikut mendukung deklarasi itu adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Ketua Panwaslu Gubernur DKI Ramdansyah mengatakan, Panwaslu tidak bisa bergerak sendiri. Panwaslu harus didukung oleh sejumlah lembaga masyarakat karena Jakarta memiliki potensi politik uang yang besar dibandingkan dengan daerah lain. Sementara sebagai pengawas pemilu, pihaknya masih memiliki keterbatasan dalam menjangkau data terkait politik uang.
Dalam pengawasan politik uang ini, pihaknya juga telah meminta KPU DKI Jakarta untuk segera menyerahkan data dana kampanye dari setiap pasangan calon gubernur. Data tersebut akan sangat berguna untuk melacak riil jumlah belanja kampanye setiap calon. Jika ditemukan belanja kampanye lebih besar dibandingkan dengan dana kampanye yang dilaporkan, itu bisa menjadi indikasi terjadinya politik uang.
Panwaslu akan memulai pengawasan dengan mendata semua iklan tiap-tiap calon gubernur di lembaga pemberitaan. Semua atribut kampanye juga akan didata agar diketahui jumlah riil belanja kampanye setiap calon.
Sumber: Harian Kompas, Senin, 25 Juni 2012
Repost: Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Tidak ada komentar: