Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat semestinya segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu. Tarik-menarik soal persyaratan keanggotaan penyelenggara pemilu yang berkepanjangan hanya akan meningkatkan risiko kekacauan Pemilu 2014.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Veri Junaidi, Kamis (26/5) di Jakarta, mengatakan, dalam RUU Pemilu yang kini dibahas, tahapan pemilu harus dimulai 30 bulan sebelum tanggal pelaksanaannya. Jika Pemilu 2014 diselenggarakan April 2014, tahapan harus dimulai Oktober 2011.
”Kalau tidak disahkan segera, kualitas Pemilu 2014 dipastikan tidak berbeda dengan Pemilu 2009. DPR harus konsisten dengan desain waktu yang sudah disusun,” tutur Veri.
Berulangnya perdebatan materi RUU, menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yus Fitriadi, menunjukkan kinerja dan kapasitas DPR yang lemah.
Masalah independensi calon anggota KPU, menurut peneliti Indonesia Parliamentary Center, Erik Kurniawan, seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah. Untuk mendapatkan penyelenggara pemilu, selain memiliki kapasitas dan kompetensi, diperlukan independensi. Oleh karena itu, keinginan DPR untuk membuka peluang anggota partai politik menjadi penyelenggara pemilu dinilai tidak masuk akal. Masih diragukan kemampuan seorang kader parpol untuk membagi waktu dan loyalitasnya antara untuk parpol dan tugas sebagai anggota KPU.
Masa jabatan anggota KPU yang sudah melaksanakan Pemilu 2009, lanjut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Yurist Oloan, dapat ditata. Anggota KPU bisa digantikan dengan anggota baru setelah RUU Penyelenggara Pemilu disahkan.
Seleksi anggota KPU juga harus menekankan kapasitas dan memberi kesempatan masyarakat mengecek rekam jejak kandidat itu. Pelibatan publik, menurut Yurist, akan menjadi mekanisme kontrol yang baik. Apabila diperlukan, masyarakat bisa mengajukan calon atau panitia bisa minta calon berkapasitas dan berintegritas ikut seleksi.
Untuk mengurangi keberpihakan dalam pemilihan di tahap akhir oleh DPR, ujar Yus, mekanisme kontrol dan komitmen untuk penyelenggaraan pemilu yang baik sangat diperlukan. Sistem uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR juga harus baik dan didampingi para ahli.
Dalam rapat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Kamis (26/5), pemerintah menolak keterlibatan parpol dalam Dewan Kehormatan KPU sebagaimana diusulkan DPR dalam RUU perubahan atas UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
DPR mengusulkan Dewan Kehormatan KPU terdiri dari satu perwakilan KPU, satu orang perwakilan Badan Pengawas Pemilu, empat atau lima tokoh masyarakat, dan utusan parpol di parlemen masing-masing satu orang.
Jika utusan parpol berjumlah ganjil, perwakilan tokoh masyarakat sebanyak empat orang. Namun, apabila perwakilan parpol genap, anggota DK KPU dari tokoh masyarakat lima orang. Dengan sembilan parpol di parlemen seperti sekarang, anggota DK KPU mencapai 15 orang.
”Jumlahnya tidak perlu sebanyak itu,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Gamawan mengusulkan keanggotaan DK KPU lebih disederhanakan. Jumlah ideal anggota DK KPU menurut pemerintah adalah tujuh orang, yang terdiri dari dua perwakilan KPU, dua perwakilan Bawaslu, serta tiga orang dari kalangan independen atau tokoh masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga tidak ingin perwakilan parpol turut dalam keanggotaan DK KPU untuk menjaga netralitas dan kemandirian DK KPU yang bertugas mengawasi lembaga penyelenggara pemilu. Lebih jauh pemerintah mengusulkan agar DK KPU bersifat ad hoc atau sementara karena lembaga itu bukan lembaga tersendiri di luar KPU dan Bawaslu. (INA/NTA)
Tidak ada komentar: