Masyarakat Indonesia, Teropong Politik masa lalu
Suasana Indonesia masa pemerintahan rezim Soeharto (1966-1998) diwarnai sangat banyak peristiwa, positif dan negatif dalam proporsi yang tak berimbang.Rezim ini, karena sedemikian lamanya, seperti sudah menjadi irama hidup kita. Jangan banyak bicara, berbicara kritis apalagi menyalahkan aparat pemerintah yang sudah mengatur dan membangun Indonesia kita, itulah gambaran yang melekat dan diingat betul oleh generasi aktivis pasca 70-an. Kalau wong cilik, kaum petani ingin bicara atau mengeluarkan uneg-uneg, tunggu dan ikutlah seleksi untuk bertemu presiden dalam KLOMPENCAPIR (kelompok pendengar dan pembicara).
Karenanya gegap gempita setelah 19 Mei 1998 dimana Soeharto mengundurkan diri, amatlah sangat mengejutkan, terutama bagi bangsa Indonesia sendiri. Seperti bangun dari tidur lama, yang menenggelamkan kesadarannya, mereka menjadi manusia “seutuhnya”dalam arti sebenarnya dan bukan lagi sebuah jargon yang diidealkan dan sering dilontarkan Soeharto. Tahun 1998 itulah awal masa, masa yang lalu disebut sebagai era reformasi.[1]
Inilah era masyarakat Indonesia mengekspresikan diri sebagai warga sebuah bangsa, berpikir, berbicara terbuka dan kritis, berkumpul dan berserikat tanpa was-was.Semua dan untuk itu adalah atas nama reformasi. Pahit getirnya suasana transisi ini juga dialami bangsa ini sebagai ekor dari krisis ekonomi yang sangat parah setahun sebelumnya. Tahun itu adalah 1997, saat semua kebutuhan barang-barang pokok melambung sementara keadaan ekonomi masyarakat sangat sulit. Seperti bom waktu yang telah lama ditanam dan merupakan akumulusi dari era Soeharto yang dicitrakan baik-baik saja.
Setelah kran kebebasan itu terbuka, apa kontribusi warga yang bisa dilakukan untuk memperbaiki bangsa ini? Apakah kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang memang ruh dari konstitusi bangsa telah melahirkan kesadaran warga untuk bersama-sama membangkitkan keterpurukannya?
Mengawal dan Mempercepat Proses Demokratisasi
Pasca Mei 1998, seperti tak dapat ditahan lajunya, aspirasi masyarakat muncul dalam banyak wadah. Keinginan itu bisa muncul dalam bentuk perkumpulan seni, organisasi, kekaryaan pun juga parpol. Tidak semua lembaga atau organisasi itu baru dilahirkan tapi juga bangkitnya kembali organisasi yang tak sejalan atau dibungkam pada masa Soeharto. Tak heran, presiden-presiden pasca Soeharto seperti memimpin sebuah dusun bukan negara. sebegitu mudah dipilih dan dijatuhkan!. Rakyat memang full control dan sepenuhnya memegang kedaulatan. Individu-individu seperti selalu punya celah dan membawa kaca pada dirinya, yang bisa setiap saat meneropong para eksekutif dan sewaktu-waktu mengeksekusinya.
Fenomena ini tentu tidak terjadi otomatis, ini adalah ekses dari kekalahan negara negara yang cenderung sentralistik, misalnya jatuhnya Ferdinand Marcos setelah berkuasa selama 20 tahun di Philipina, runtuhnya ideologi komunis di Eropa Barat termasuk lengsernya Soeharto di negeri kita. Hasilnya, masyarakat sipil semakin berdaya karena proses penyadaran dan bangkitnya ‘kekuatan’ baru Civil Society (masyarakat berkeadaban.
Dengan begitu, negara tak lagi menjadi kekuatan tunggal yang sewenang-wenang. Era globalisasi yang diantaranya ditandai cepatnya diseminasi informasi ini ‘memaksa’ pemerintah pusat untuk mendistribusikan kekuasan pada pemerintahan lokal maupun kekuatan-kekuatan non pemerintah (LSM). Di negara kita, keberdayaan masyarakat sipil ini juga mendorong lahirnya UU No.25/1998 tentang otonomi daerah, bahkan warga Indonesia tidak hanya ingin otonomi daerah tapi juga melepaskan diri kekuatan Indonesia.
Meski undang-undang otonomi daerah belum sepenuhnya menjamin tumbuhnya demokrasi lokal, karena sangat mungkin kekuasan lokal ini melahirkan raja-raja lokal dan eksekutifnya berasal dari sumberdaya manusia yang sudah terlatih dengan sistem atau budaya birokrasi era Soeharto. Namun kekuatan masyarakat sipil menjadi mempunyai peluang dan mengubah ‘struktur politik’ dengan munculnya parpol-parpol baru, meski lebih banyak kampanyenya daripada merealisasikan janji. Setidaknya, kehadiran parpol-parpol itu memberi secercah perubahan pada masyarakat akan hilangnya single majority pada partai. Lebih dari itu, lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga ikut mempercepat empowering / pemberdayaan masyarakat dan melakukan pendidikan kritis yang telah lama diberangus di masa lalu. Dengan demikian, masyarakat adalah juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial pemerintah.
Pemerintahan yang sering berganti-ganti seiring dengan lengsernya presiden –ini ditandai dengan gonta-gantinya presiden kita, 4 orang untuk masa 6 tahun- seakan menjadi indikator energi masyarakat, terutama energi legislator untuk selalu mengawal pelaksana pemerintahan dan presiden harus melalui semacam test case. Melelahkan memang dan tak semuanya bernilai positif, namun masyarakat yang telah terlanjur dihantui lamanya rezim Soeharto, dimana terjadi kekerasan, penindasan, ketidakadilan atas nama pembangunan, musyawarah mufakat, kesejahteraan tak ingin ada batu sandungan untuk proses demokratisasi. Karenanya, begitu cepatnya undang-undang pemilu kita untuk berganti dari Pemilu tak langsung menjadi Pemilu Presiden langsung adalah langkah yang signifikan dan human untuk pemberdayaan masyarakat. Tidak itu saja, tahun 2004 lalu, kita punya hajatan pemilu berkali-kali, yang menghasilkan angggota dewan dan presiden baru sekaligus. Rentang waktu yang hanya satu tahun untuk memilih presiden dan anggota dewan baru, menurut ahli pemilu hanya terjadi dalam system Indonesia.
JPPR Berbasis pada Kekuatan Civil Society dan Kontribusi kepada Bangsa
JPPR merupakan salah satu energi penggerak massa dan mesin pemberdayaan pada masa transisi itu, dengan melihat kekuatan masyarakat sipil dan menimbang peluang yang ada, pada tahun 1999, kekuatan ormas NU dan Muhammadiyah pada awalnya, merasa harus ikut terlibat untuk melakukan penyadaran, pemberdayaan masyarakat sipil melalui pendidikan politik kepada para pemilih.Sebagaimana kita ketahui, penyelenggaraan pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca pemilu 1955 yang dirasa sebagai pemilu yang jujur, adil dan terbuka serta melibatkan sebesar-besarnya warga negara Indonesia. Bangkitnya kekuatan sipil secara sukarela melalui partisipasi aktif dalam berbagai bentuk, merupakan indikasi bahwa mereka tak ingin memberi check kosong kepada KPU dan masyarakat. Merujuk pada survey,yang dilakukan oleh The Asia Foundation dengan Charney Research New York dan AC Nielsen Jakarta, pemilih menaruh kepercayaan bahwa pemilu mempunyai dampak untuk perubahan.[2]Karenanya, mereka ingin tahu banyak tentang prosedur-prosedur pemilu dan kegiatan-kegiatan parpol, terutama banyaknya peserta parpol untuk pemilu 1999, 42 partai!. Karena itu, JPPR awal dengan elemen terbatas untuk NU & Muhammadiyah berkonsentrasi untuk pendidikan pemilih dengan perekrutan relawan yang bersifat terbuka, tanpa berbatas pada elemen di atas. Luar biasa, kesadaran massa untuk ikut berbuat kepada bangsanya telah mengumpulkan relawan dalam waktu singkat sebanyak 133.000 di seluruh Indonesia, kecuali propinsi Timur-Timor, yang waktu itu masih menjadi bagian dari Indonesia.
Kekuatan sipil itu memang menakjubkan, ini tentu saja didorong oleh semangat untuk mengawal proses penyelenggaraan pemilu pertama yang lebih partisipatif pasca Soeharto yang rawan akan hal-hal yang tak diinginkan, karena aparatur kita masih banyak yang mempunyai etos, perilaku dan kultur rezim lama. Relawan JPPR ini telah mentransfer pengetahuannya yang didapat dari training dan mendistrsibusikan jutaan produk material JPPR dalam bentuk tabloid, leaflet, poster, brosur, talkshow dll. Dalam medan geografis yang sulit di beberapa tempat, mereka sangat aktif dan rela melakukan itu semua. Dengan kompensasi biaya transport yang tak seberapa mereka sangat antusias karena ingin melihat perubahan dari hasil pemilu.[3]Tahun itu, saat-saat menjelang pemilu, JPPR juga memutuskan untuk memantau penyelenggaraan pemilu di hari H-nya.
Pada tahun 2004, saat kita dituntut untuk bekerja lebih keras karena pemilu akan dituntaskan pada masa 1 tahun itu. Relawan JPPR dengan anggota jaringan yang diperluas meliputi LSM dan interfaith kembali menggiatkan kurang lebih 144.000 relawannya di seluruh Indonesia. Kembali dengan tantangan yang lebih besar, relawan JPPR tak surut semangatnya di tengah-tengah tensi politik yang tinggi, antara pemilu legislatif dan presiden yang berlangsung dua kali putaran.
Mengapa masyarakat sipil secara sukarela menyediakan waktunya untuk mengikuti training, menyebarkan informasi dan memantau proses-proses pemilu?
Dalam pengamatan terlibat bersama relawan setidaknya ada beberapa hal yang bisa dipetakan;
1) Ada gejala umum, bahwa masyarakat selama ini belum pernah terlibat sama sekali dalam proses penyelenggaraan negara. Pemilu di era Soeharto, jangankan meminta partisipasi masyarakat, hasil pemilunya sebelum hari H sudah bisa diprediksi dan 99 % selalu mendekati kebenaran.Yang amat memilukan, di sebuah desa di Palembang, banyak orang, tidak pernah menggunakan haknya untuk memilih parpol bahkan mencoblos pun “diwakilkan”, seseorang cukup datang, membawakan kotak pemilu lalu menawarkan partai tertentu, yang sudah pasti akan dijawab; ya oleh semua orang itu. Karena itulah ketika ikut menjadi relawan JPPR, rakyat benar-benar menjadi subyek dan merasa bagian dari bangsa.
2) Berbakti kepada bangsa dan negara.Era reformasi, menjadikan peran warga sebagai ujung tombak penyelenggaraan negara. Negara tak bisa lagi mengatur kekuasaannya secara sentralistik. Proses-proses pengalihan dan pengaturan kekuasaan yang sering terjadi secara cepat menjadikan banyak warga negara berinisiatif untuk melakukan dan mendarmakan apa yang mereka mampu dalam berbagai bentuk[4]. Recovery bangsa untuk keluar dari krisis yang multi dimensi, harus ditentukan oleh rakyat sendiri arahnya lewat kontribusi dan aksi yang positif, agar tidak kebablasan.
3) Menjadi warga yang diperhitungkan. Tersedianya relawan JPPR di berbagai pelosok tanah air dan dari berbagai jaringan, memungkinkan keunikan tersendiri. Ada dari mereka yang sudah lama hidup dengan rezim Soeharto, ada yang baru aktif dalam kegiatan –kegiatan sosial, sehingga menjadi pemantau, mengisi check list dll, adalah partisipasi yang luar biasa sebagai bagian dari bangsa dan penghormatan akan hak-hak kemanusiannya.
4) Relawan mandiri yang mulai dikembangkan sejak pemilu presiden, karena keterbatasan dana juga menunjukkan hasil yang mengembirakan. Dalam Pilkada 2005, dari 12 ribu relawan, kita mendapat tambahan 8 ribu relawan. Semangat mengawal demokrasi dan kesedian diri secara sadar merupakan modal dasar untuk ikut dalam proses-proses perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara serta turut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang terjadi dapat dilihat dari antusiasnya mereka setiap mengikuti kegiatan JPP
JPPR dan Demokrasi Lokal
Jika pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004 lebih bersifat nasional untuk memilih representasi wakil-wakil yang akan menjadi nakoda bangsa ini, tidak begitu dengan penyelenggaraan Pilkada-Pilkada setelahnya. Pemilihan kepala daerah secara langsung, mengharuskan keterlibatan aktif para warga. Pilkada tanpa diikuti pendidikan politik adalah pemandulan hak asasi manusia. Apalagi segala hal yang berkenaan dengan Pilkada akan mempunyai efek langsung. Lazimnya, setiap pemilu, parpol selalu sibuk dengan urusan kandidat dan abai terhadap pendidikan konstituennya. Celah ini bila tidak tergarap, akan kembali mengulang rezim lalu, ketidakberdayaan di daerahnya sendiri !. Pada pilkada pula, biasanya konflik etnik, semangat primordial dan agama cenderung bangkit, meningkat mengiringi para kandidat untuk meraup calon pemilihnya. Bila tidak dikikis dan justru didukung elemen-elemen masyarakat yang ada, ini bisa menghilangkan sendi-sendi dan nilai-nilai demokrasi itu sendirI. Padahal bukan itu yang harus dimunculkan, heterogenitas sosial, peningkatan ekonomi dan pendapatan, partisipasi politik adalah keniscayaan dan modal untuk membangun daerah.
Dengan fenomena tersebut, JPPR dana relawannya beserta elemen masyarakat sipil yang lainnya adalah ujung tombok untuk mendorong terwujudnya Pilkada yang demokratis. Pilkada adalah cover dan isi kehidupan yang sangat dekat dengan kita. Pemerintah Pusat juga diuji dan harus menahan diri untuk tidak mengintervensi proses-proses itu. Boleh jadi, ini adalah political exercise yang harus terjadi.
Relawan JPPR menjadi sangat penting untuk berperan aktif dan menjadi instrumen, kalau diperlukan mengorganisir relawan untuk membuat pressure,advokasi dan litigasi setiap melihat praktek-praktek kecurangan dalam Pilkada. Kita harus ingat sekecil apapun yang kita lakukan, akan memberi sumbangan bagi arah kehidupan bangsa dan investasi yang tidak kecil bagi generasi ke depan. Ruh, spirit volunteerisme atau kerelawan harus tetap ada dalam diri kita, dengan ada atau tanpa struktur sekalipun!. Hari-hari ini, ketika Tim Tastipikor semakin sibuk dengan para tersangka korupsi, Presiden SBY dengan jujur mengakui, penyelenggaraan negara kita ini sudah rusak; penyelenggaraan negara belum mencerminkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Teman-teman, inilah saatnya kita memperbaikinya, saat kita harus membangun diri, daerah, bangsa dan negara yang kita cintai ini yang selalu didera krisis multi dimensi. Selamat bekerja teman-teman, di tangan anda yang terhormatlah sebenarnya nasib bangsa ditentukan, bukan oleh mereka yang kelihatan terhormat namun telah mengalami reduksi, kepentingan pribadi dan amputasi nilai demokrasi yang sebenarnya! Terima kasih menjadi bagian dari JPPR, kami tak bisa memberi nilai kepada penghormatan yang Anda lakukan kepada bangsa Indonesia (an).
[1]Reformasi mungkin berasal dari pembicaraan diplomatik para pejabat orde baru dengan IMF dan Bank Dunia yang mengacu pada kewajiban Soeharto untuk memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh lembaga-lembaga donor untuk memberikan bantuan. Syarat-syarat itu adalah diakhirinya korupsi, kolusi dan nepotisme yang semuanya lebih radikal daripada reformasi dalam pengertian umum. Ketika media massa mempopulerkan istilah ini, para tokoh oposisi sulit menghindarinya, termasuk mereka yang lebih menyukai istilah revolusi. (lihat, Ariel Heryanto dan Sumit K.Mandal, eds. ‘Menggugat Otoritorisme di Asia Tenggara’ hal.15, Jakarta, 2004, KPG)
[2]Lihat, Demokrasi di Indonesia; Sebuah Survey Pemilih Indonesia 2003, hal. 12-13. The Asia Foundation Jakarta.
[3]Saya masih ingat betul, tahun 1999, saya berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Bali dan Bengkulu, relawan-relawan dalam berbagai usia datang untuk training relawan. Di tempat-tempat publik, saya bertemu lagi dengan mereka yang mengenakan atribut-atribut JPPR.
[4]Saya bertemu dengan seorang gadis, relawan di Sampit dan menanyakan, apa yang menjadi motivasinya untuk tetap jadi relawan, dia bilang; senang bisa ikut JPPR, ketemu banyak teman dan bisa mengawasi pemilu, meski pengganti transport yang diberikan tak seberapa.
Tidak ada komentar: