Yakni, diterapkan persyaratan ketat bagi kader parpol melalui pelarangan hingga sepuluh tahun ke depan untuk bergabung lagi dengan kepengurusan parpol tertentu atau menjadi pejabat publik.
“Tidak ada ruang sampai sepuluh tahun ke depan untuk deal-deal tertentu. Jadi, lupakan romantisme dengan parpol yang telah membesarkan Anda (kader parpol),” kata pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin dalam diskusi Mengawal UU Politik yang Prorakyat, di Warung Bumbu Desa, Jakarta, kemarin.
Irman menegaskan, pada dasarnya ia mendukung wacana anggota parpol tidak boleh menjadi anggota KPU. Tapi, Irman merasa terpaksa harus mengambil terobosan untuk mengakhiri deadlock pembahasan RUU Pemilu. “Mungkin ini bisa jadi kompromi,” ujarnya.
Dia menyampaikan, aturan yang berlaku sekarang di UU No 22/2007 tentang Pemilu ternyata juga tidak menjamin independensi KPU. UU memang memperbolehkan mantan kader parpol yang sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik untuk masuk KPU.
“Tidak menjadi anggota parpol setahun atau sejak lima tahun lalu, tetapi hubungan intens dengan parpol bisa jalan terus,” katanya.
Di lain sisi, tokoh nonparpol yang masuk ke KPU ternyata tidak bisa menjamin netralitas mereka. Nah, daripada menjadi “simpanan parpol”, sindir Irman, lebih baik dilarang menjadi pengurus parpol atau pejabat negara hingga sepuluh tahun ke depan. “Jangan mimpi jadi menteri atau komisaris BUMN pasca KPU. Paling tinggi ketua RT atau RW,” ujarnya, lantas tertawa.
Dia lantas menyentil dua mantan anggota KPU yang belakangan bergabung dengan kubu penguasa. Mereka adalah Hamid Awaludin yang menjadi Menkum HAM setelah Pemilu 2004 dan Andi Nurpati yang menjadi pengurus Partai Demokrat begitu selesai mengadakan Pemilu 2009. “Saya kira ini masalah,” kata Irman.(pri)
sumber: Radar Bogor
Tidak ada komentar: